Halaman

Selasa, 17 Juli 2012

Negeri ini dibangun dengan CINTA seorang wanita


Malam ini langit begitu gelap dan mendung..
Karena awan tak bersahabat, aku tak bisa memandangi gagahnya Scorpion atau mengintip Betelgeuse di sabuk Orion dari jendela kamarku… sayang sekali..

Seperti malam-malam liburan sebelumnya aku termenung menatap langit di balik jendela.. Pikiranku lari kesana kemari. Mencari ruang dalam tempurung kepala yang sempit.

Kali ini ia berlari menuju sebuah objek..

ulekan..


Ya, ulekan, coet, c-o-e-t, mutu, mortar dan pestle (purba) apapun sebutannya untuk sepasang batu itu.

Benda yang setia menemani 21 tahun berjalannya keluarga kecilku. Benda yang sudah genap berusia 60 tahun. Diwariskan oleh nenek segera setelah ayah menikah (karena khawatir anaknya nggak bisa makan pake sambel Padang dan rendang di tanah perantauan hehe).

Benda itu selalu berada di salah satu sudut dapur. Nyaris tak pernah bersih karena digunakan lebih dari dua kali setiap hari. Memang bukan benda yang mewah (sama sekali), tapi tanpa itu aku nggak punya kepercayaan diri untuk memasak. Meskipun sekarang (dari dulu juga udah) ada yang namanya blender, tetep aja mencacah dan menumbuk adalah dua hal yang berbeda..

Ketika aku berumah tangga nanti (kapan??), benda itu yang akan kucari duluan dibandingkan happ*ca** atau barang-barang semacamnya.. haha :D

Ulekan dan bawang-bawangnya :D



Mungkin orang akan berpikir bahwa benda itu bukan benda yang penting untuk dibicarakan, apalagi sampai dibuat tulisan di blog macam ini (kecuali oleh orang yang nggak ada kerjaan macam aku :p).

Tapi tahukah, ulekan itu memegang peranan penting dalam sejarah kemerdekaan Negara Indonesia??!
#serius dan penting

Ketika itu, Soekarno muda yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Technische Hogeschool (Institut Teknologi Bandung) merasa jatuh cinta pada Inggit Garnasih (Ibu kos Soekarno) yang usianya terpaut 13 tahun lebih tua. Gayung bersambut, Inggit yang saat itu telah berstatus sebagai istri dari Sanusi, juga terpikat pada pembawaan Soekarno yang cerdas dan menyenangkan. 
Atas restu dari suaminya, Inggit diceraikan dengan syarat.

“kau kuceraikan, asalkan kau menikah dengan Soekarno. Jika ada sesuatu yang terjadi, kau boleh kembali padaku”.

Sanusi menyadari bahwa Soekarno akan menjadi seorang yang besar. Untuk itu, Soekarno muda membutuhkan seorang pembimbing yang tiada lain adalah Inggit Garnasih.

Sebagai seorang istri yang berbakti, Inggit membantu suaminya mencari nafkah dengan berjualan jamu dan bedak yang beliau racik sendiri (menggunakan ulekan :) ). Uang yang dihasilkan digunakan untuk membiayai hidup, sekolah Soekarno dan pergerakan beliau membangun kemerdekaan Indonesia (nah, penting kan perannya).

Perjuangan Inggit Garnasih tidak hanya sebatas materi. Beliau yang tulus memberi, mengangkat jiwa Soekarno ketika hampir jatuh menyerah. Beliau yang rela berjalan kaki berkilo-kilo meter dari rumahnya (Sekarang Jl. Inggit Garnasih atau Jl. Ciateul) menuju penjara Sukamiskin untuk mengantarkan buku-buku dan berita-berita pergerakan pada Soekarno.

Bahkan ketika Soekarno tidak mampu melaksanakan tugasnya mencari nafkah (saat diasingkan), Inggit Garnasih tetap bekerja keras membuat jamu dan bedak untuk membiayai hidup mereka dan anak angkat mereka, Ratna Juami.

Inggit dan Soekarno
(image source : zona-kita.com)


Inggit Garnasih adalah jiwa bagi Soekarno. Ia memenuhi seluruh kebutuhan Soekarno, sebagai istri dan sebagai teman perjuangan. Menemaninya kemanapun Soekarno pergi, bahkan ketika berkali-kali diasingkan oleh penjajah. 

"Dengan kekuatan tangan lembut Inggit, Soekarno muda menjadi sosok Proklamator luar biasa yang kita kenal. Yang namanya akan selalu tertulis di buku-buku paket sebagai presiden pertama, pejuang kemerdekaan Indonesia".

Sayangnya, Allah tidak pernah menakdirkan Inggit untuk memiliki keturunan. Hal itu yang menjadi penyebab guncangnya rumah tangga mereka..

“Saat itu Soekarno adalah seorang pria dewasa yang sangat ingin memiliki keturunan. Presiden pertama kita itu seorang Cassanova yang serius mencintai banyak wanita”.

Dalam pengasingan di Bengkulu, Soekarno dan Inggit mengangkat Fatmawati sebagai anak untuk menemani Ratna Juami bersekolah. Fatmawati yang saat itu masih muda, ternyata menarik perhatian Soekarno dalam usianya yang matang. Didasari keinginan untuk memiliki keturunan, Soekarno meminta izin pada Inggit untuk menikahi Fatmawati.

Pantang bagi Inggit untuk dimadu!

Dengan berat hati beliau meminta diceraikan dan memutuskan kembali ke Bandung, ke rumahnya. Melanjutkan hidup dengan sederhana, berjualan jamu dan bedak yang diraciknya sendiri.

Seperti yang kita semua tahu -17 Agustus 1945, di sisi lain Indonesia- Fatmawati berdiri disamping Soekarno sebagai Ibu Negara pertama, penjahit bendera Indonesia. Dan seperti yang Soekarno harapkan, mereka dikaruniai banyak keturunan yang namanya bisa kita lihat di layar televisi hingga saat ini…

Sampai akhir hayat menjemput Soekarno, Inggit Garnasih masih mencintainya dengan tulus, tanpa pamrih, dengan sepenuh hati..

“Engkus.. geningan Engkus the miheulaan.. ku Inggit di doakeun”.

Dengan linangan air mata, tubuh rentanya menatap Soekarno yang terbujur kaku dalam peti mati..
mendahuluinya pergi untuk selamanya..

Itulah cinta sejati, cinta seorang Inggit Garnasih pada Soekarno..

“Engkus.. geningan Engkus the miheulaan.. ku Inggit di doakeun”.  
(image source : bandunginstyle.blogspot.com)


Setiap kisah pasti memiliki versi yang berbeda. Tapi sebagai pemuda Indonesia (apalagi mahasiswa), tak ada salahnya mengunjungi sejarah dan merekonstruksinya dengan pikiran kita sendiri.

Cerita diatas dituturkan dengan senang hati oleh Bapak Tito Z.A, cucu Soekarno, anak dari Ibu Ratna Juami. Beliau sangat menghargai siapapun yang bersedia mencari kisah dibalik sejarah. Beliau akan sangat bahagia jika nama Inggit Garnasih dikenal dan dikenang oleh anak bangsa ini. Karena bagi beliau, sosok Soekarno tidak akan pernah ada tanpa seorang Inggit. Sayangnya, seingatku kisah Inggit tidak pernah terpublish di buku-buku paket sejarah karena sudah dijejali dengan kepentingan politik (?).

Kisah Ibu Inggit baru mencuat ketika Bapak Tito melakukan gertak sambal. Sebagai ahli waris, beliau “mengumumkan” bahwa surat nikah dan surat cerai asli Soekarno-Inggit akan dilepas pada pemerintah Belanda yang telah menawar masing-masing surat dengan harga 2 Milyar. Bagi pemerintah Belanda, Soekarno merupakan sosok yang luar biasa. Surat-surat asli dan barang-barang peninggalan Soekarno-Inggit merupakan aset sejarah, bukti nyata yang tak ternilai.

Miris ya..

(image source : photo.goodreads.com)

Kisah manis Ibu Inggit terekam dalam buku lama “Kuantar Kau ke Gerbang” karya Ramadhan K.H (kini dicetak ulang). Sementara benda-benda peninggalan Ibu Inggit Garnasih bisa diliat di museum Inggit Garnasih Jl. Inggit Garnasih (Ciateul) No.8 Bandung. Sangat terjangkau oleh kaki kita kan?

Museum Inggit Garnasih (model : Tafta, foto : Maisarah, 2011)

replika benda peninggalan Ibu Inggit di museum Inggit Garnasih (foto: Maisarah, 2011)

Tapi yang ada disana itu hanya replikanya..

Kalau ingin melihat benda yang asli, kita bisa mengunjungi rumah Bapak Tito (lupa alamatnya, di daerah Kopo, Bandung). Sebelumnya.. hubungi dulu beliau, nomor handphonnya tercantum di buku tamu Museum Inggit Garnasih :)

Bapak Tito (foto : Maisarah, 2011)

Mendengarkan kisah di rumah Bapak Tito (model : Inayah dan Ridha, foto : Maisarah, 2011)

Di sana kita akan disambut dengan senang hati dan akan ditunjukkan benda-benda peninggalan ASLI milik Soekarno dan Ibu Inggit (surat pernikahan dan perceraian Soekarno dengan Inggit Garnasih, meja belajar dan buku-buku Soekarno ketika masih ngekos, tempat tidur, ulekannya Ibu Inggit) boleh dipegang-pegang juga loh! :D


Dokumen asli peninggalan Soekarno-Inggit (surat cerai) (foto : Maisarah, 2011)

Coba cerna dengan hati, mata dan telinga.. Sungguh kunjungan sejarah yang luar biasa!!



Thanks Sugi dan teman-teman KKNT Sukalaksana atas tour sejarah yang tak terlupakan J





4 komentar:

  1. Wah asik banget nisaaaaaa
    terharu sama cobek
    :')
    hehehe

    BalasHapus
  2. btw kayaknya kmrn2 baru aja deh lewat jalan ciateul. pas kemana ya lupa. hehe
    pantes aja nama jalannya ada inggit nya juga
    kupikir itu siapa.
    waah makasi niis, jadi tauu

    BalasHapus
  3. iya mungkin namanya berubah waktu rumah bersejarah Inggit Garnasih dipugar :D
    sayang, bentuk asli rumahnya nggak dipertahankan.. setelah dipugar bentuknya kayak rumah minimalis modern..

    barang-barangnya juga dibawa ke rumah Pak Tito :)

    BalasHapus
  4. Ibu Inggit Ganarsih...seorang yang Luar Biasa dalam ketulusan,pengabdian tanpa Pamrih,setia dan mempunyai Cinta yang Sejati.....Dari Ibu Bangsa inilah harusnya kita ..ya kita generasi penerus dapat mengambil hikmah pengabdiannya...Setia sampai akhir....Memang Ibu ini tidak memegang KUNCI KEMERDEKAAN....tapi ingatlah Beliaulah yang mau dan bersedia menopang,mengiringi,mengangkat Bapak Bangsa kita untuk sampai MEMBUKA PINTU GERBANG dengan meski sampai di depan Pintu itu....Dari kebesaran Hati seorang yang bernama Ibu Inggit Ganarsih.....

    BalasHapus