Halaman

Tampilkan postingan dengan label kontemplasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kontemplasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Agustus 2016

The Stranger


Mungkin akan tiba suatu masa dalam hidup seorang gadis di mana “cinta” bukan substansi utama, layaknya sebagian besar tema lagu-lagu hits kekinian dari jaman dahulu kala
Mungkin akan tiba suatu masa dalam hidup seorang gadis di mana kata “sayang” menjadi sesuatu yang belum teridentifikasi, layaknya benih yang akan tumbuh seiring berjalannya waktu
Mungkin akan tiba suatu masa dalam hidup seorang gadis di mana galau menjadi satu kata bias tak bermakna, menyisakan tawa konyol atas kesia-siaan waktu yang pernah terbuang

Saat itu adalah saat di mana sang orang asing yang baru saja menyentuh hidupnya tetiba menjadi “the coolest man on earth that I’ve ever known” yang dengan gagah berani mengambil alih tanggung jawab sang gadis dari Ayahnya melalui perjanjian antara ia dengan Tuhan.

Saat itu adalah saat di mana pintu cinta dan sayang Tuhan bukakan sepenuhnya, membiarkannya mengalir deras mengiringi waktu hingga maut memisahkan, tanpa keraguan, tanpa kesia-siaan.





Selasa, 26 Juli 2016

duaratussepuluh


Anak perempuan itu sengaja kutahan di kelas saat bel pulang telah berdentang setengah jam lalu

Ini sudah kesekian kalinya ia kubujuk untuk menulis, menulis dalam artian “sekedar mengikuti” bentuk huruf di papan tulis, karena ia memang belum bisa membaca, atau mengeja.

Semester lalu aku hampir memutuskan untuk membuatnya tinggal kelas setelah bermusyawarah dengan Ibunya, yang saat kutemui sedang asyik membuat sapu lidi di halaman rumahnya.

Namun setelah meminta pertimbangan rekan-rekan seperjuangan, keputusan itu kuurungkan, mengingat tingkat kehadirannya di kelas yang terbilang tinggi.

Berat untuk orang yang idealis macam diriku, tapi apa mau dikata. Idealisme, ekspektasi, harus kuenyahkan.

Disaat sekolah-sekolah di perkotaan sibuk dengan bagaimana-cara-mengimplementasikan-Kurikulum-2013-nya, di sini membuat anak-anak (dan guru) mau datang ke sekolah adalah prioritas utama,
Tak peduli apapun kurikulumnya, tak peduli apapun buku paket yang digunakannya (yang mana sebagian terbit di tahun yang sama saat aku masih siswa SD).

Anak itu masih belum mau menulis, hanya memandangiku sambil sesekali tersenyum, aku balas memandangnya, tak terasa air mataku mengalir.

“Akang sampe kapan ngoni begini teros? Akang bagaimana kalo ngoni so besar nanti?”

Mungkin kejauhan, tapi saat aku memandang wajah kanak-kanaknya, aku melihat gambaran sebuah generasi, satu contoh diantara sekian banyak yang ada, entah itu di belahan Timur Indonesia, di Garut yang sepelemparan batu dari Ibukota, atau bahkan di tubuh Ibukota sendiri, bagai rambut alis yang tak tampak oleh mata.

Tanpa sadar aku lepas kontrol dan menangis terisak-isak.

Bukan, bukan menangisi ketidakmampuannya membaca,

Aku menangisi orangtuanya yang masih belum paham betul pentingnya bisa baca-tulis-hitung,
Aku menangisi guru-gurunya “guru sesungguhnya” yang malas datang ke sekolah,
Aku menangisi anak-anakku yang terjebak zona nyaman dalam pelukan tanahnya yang gemah ripah loh jinawi,

Aku juga menangisi diriku yang gagal sebagai seorang pemimpin di kelas.

Dua ratus sepuluh hari dan terus kuhitung,

Saat terakhir kali aku memandang wajahnya. Wajah yang memberikan banyak makna dan pelajaran, tentang hidup, tentang rasa syukur, tentang beratnya tugas para pemimpin, yang membuat para calon khalifah enggan bertakhta, yang membuat seorang Habibie sulit tidur.

Wajah kanak-kanakmu, yang masih berjuang dengan huruf, sementara yang lain sudah berpusing memikirkan MEA.

Sampai berjumpa nanti Anak-anakku, saat Ibu punya keberanian untuk kembali menyapa kalian.
Terimakasih telah berbaik sangka, do’a Ibu selalu saat mengingat kalian :)

Kamis, 08 Mei 2014

Halo, namaku Z01710

Halo, namaku Z01710, sebuah kalus 

Dulu, aku merupakan bagian dari potongan daun berukuran 7x7 mm^2 

Aku di tanam tanggal 17 Oktober 2012 sebagai kontrol negatif pada media agar-agar yang miskin nutrisi (nyaris 100x di bawah kadar optimum untuk pertumbuhan) dan tanpa pemberian hormon sama sekali.

Pada 3 bulan pertama, aku dan teman-temanku hampir saja di buang karena masih berbentuk potongan daun, belum bertumbuh, mulai menghitam dan tampak mati.

Di antara jaringan yang tampak mati tersebut aku adalah sebagian kecil sel yang bertahan hidup 
7 bulan kemudian aku tumbuh dan muncul sebagai gumpalan hijau, kalus yang sangat kecil tapi sangat hidup. Karena itu, aku tak di buang.

Katanya aku adalah simbol perjuangan.
katanya, mungkin ada sesuatu didalam diriku yang membuatku begitu keras kepala untuk bertahan hidup dalam kondisi serba kekurangan.

Setiap kali orang yang menanamku sedang berada dalam titik terendah semangatnya, ia sering memandangiku lama-lama.. Katanya, ia ingin jadi kuat seperti aku 

Ah entahlah, aku tak begitu mengerti, aku kan hanya sebuah kalus.. hehe (^,^)
Yang kutau, aku ingin bertahan hidup dan akan bertahan hidup.
Meskipun aku tumbuh lebih lambat dibanding dengan yang lainnya, aku juga akan menjadi besar  


Senin, 24 Maret 2014

Haruskah Menunggu Mapan untuk Menikah?

"Anak Muda...
Menikahlah Sebelum Mapan, Agar Anak anak anda dibesarkan bersama kesulitan - kesulitan anda.
Agar Anak anak anda kenyang merasakan betapa ajaibnya kekuasaan Allah
Jangan sampai anda meninggalkan anak anak yang takpaham bahwa hidup adalah perjuangan".


-Adriano Rusfi-




Ayah dan Bunda termasuk pasangan yang menikah dengan bekal secukupnya. Dengan uang yang mulanya akan digunakan untuk acara pernikahan, tapi tidak jadi karena ternyata di akad nikah sudah banyak sekali tamu yang hadir, Ayah dan Bunda membeli sebuah rumah dengan harga Rp 3.000.000 (kalau sekarang nilai uangnya mungkin sekitar Rp 30.000.000). Rumah pertama keluarga kami yang sederhana, letaknya di Gang Dahlia No.57, belakang RS. Dustira Cimahi.

Benda yang pertama kali Ayah dan Bunda beli adalah sebuah karpet merah tipis dan sebuah kasur busa yang mereka gunakan berdua, karena memang baru itu yang bisa mereka beli. Saat itu penghasilan Bunda sebagai seorang karyawan kantor di sebuah pabrik tekstil masih lebih tinggi dibanding Ayah yang calon dosen. Bundaku memang sudah lama bekerja sejak lulus SMK karena harus membantu Mbah dan Nenek membiayai kuliah adik-adiknya. 

Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, selain mengajar Ayah membuka toko alat elektronik di Pasar Cimindi. Ayahku memang seorang pekerja keras, beliau tak terbiasa duduk-duduk santai di waktu luangnya. Kemampuan Ayah berdagang didapatnya sejak masih kecil dengan berjualan es lilin dan membantu Nenek berjualan ikan di pasar.

Dengan kondisi seperti itu, dari pagi hingga sore mereka berdua tak pernah ada di rumah, hingga aku terpaksa dititipkan di rumah Nenek (dari Bunda). Biasanya setiapkali Bunda berangkat di pagi hari aku menangis dan mengejarnya menyusuri gang sampai jalan raya, aku baru berhenti menangis kalau Nenek atau Bule yang menyusulku dari belakang menasehatiku bahwa Bunda dan Ayah melakukan semuanya untuk bisa membelikanku susu :) . Mungkin karena orangtuaku sibuk, di usia 3 tahun aku sudah dimasukkan ke TK.

Di tahun 1997, saat usiaku 4 tahun, Ayah dan Bunda mulai merintis usaha baru berupa toko bahan bangunan. Saat itu bangunan toko masih kecil, sangat sederhana dan semipermanen, sebagian dibuat dari papan dan triplek. Barang yang dijualpun belum begitu banyak jumlahnya.

Krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 justru menjadi titik balik finansial keluargaku. Krisis ekonomi saat itu mungkin menjatuhkan bagi mereka yang memiliki aset berbentuk saham, reksa dana, obiligasi dan aset liquid lainnya, tapi menguntungkan bagi mereka yang mempunyai real asset dalam bentuk barang dan tidak memiliki hutang, seperti Ayah dan Bunda. Keuntungan yang didapatkan dari berjualan cukup untuk membangun toko sekaligus rumah baru bagi keluarga kami. Semenjak itu usaha Ayah terus berkembang hingga kini. 

Setiap keluarga punya “kisah finansial”nya masing-masing, ada yang memang sudah mapan dari sebelum perjanjian agung diucapkan, entah karena faktor kerja keras calon mempelai pria atau warisan turun-menurun, ada pula yang berbekal secukupnya lalu merintis bersama-sama dan mapan bersama-sama. 

Kalau aku, aku memimpikan yang kedua.

Karena ada sarana pembelajaran yang luarbiasa di sana, sarana untuk saling mengenal karakter satu sama lain, sarana untuk saling membangun satu sama lain dan sarana untuk berjuang bersama-sama. Aku percaya keberuntungan dan keajaiban Allah akan lebih dekat pada mereka yang mau berjuang dan bekerja keras termasuk dalam menjalani hidup.

Mungkin mudah mendapatkan orang yang mau di ajak senang tapi tak mudah mendapatkan orang yang bisa di ajak susah. Padahal kata Ayah, kehidupan itu tak selalu di atas, kita tak pernah tahu kapan Allah akan mengambil kembali apa yang pernah Ia titipkan. Alangkah indahnya ketika kita punya pasangan yang siap akan hal itu bukan? :)

Bagaimana denganmu? :)

menikmati hasil perjuangan bersama, matahari terbenam di Laut Merah :")

Rabu, 15 Januari 2014

Manusia Lemah (?)

Selasa sore kemarin, dengan randomnya Destry ngajak makan di Toki Poki. Akhirnya ba’da ashar, kami pergi dengan hanya mengandalkan goo*l* map yang ternyata tidak akurat. Katanya tempat itu tepat berada di samping McD, sehingga kami memutuskan berhenti naik angkot di situ. Ternyata yang ada di samping McD itu hanya gedung PLN, tak ada tanda-tanda, maupun ruang tersembunyi yang mengindikasikan keberadaan Toki Poki #HIKS…

Akibatnya kami harus menyusuri sepanjang jalan mulai dari simpang Dago sampai setelah Borma demi bisa mencicipi makanan Korea (harga mahasiswa) itu. Setelah dengan teliti mengamati kiri-kanan, akhirnya kami menemukan Toki Poki yang bertempat di Jl. Hj. Juanda no.343 #horeee.
Bannernya sih masih tertempel di bangunan rumah makannya, tapi ternyata Toki Pokinya sudah lama tutuuuuuup saudara-saudara #HIKSlagi.

Singkat cerita (karena Destry tak mau rugi) kami memutuskan untuk tetap membeli makanan di sekitar situ dan akhirnya memilih makan di Yomart Fast (?) hingga hari gelap dan turun hujan. Saat pulang -seperti wisata kuliner random sebelum-sebelumnya- kami terlibat perbincangan menarik.
Perbincangan kami sepanjang perjalanan menuju kosan itu mengingatkanku dengan perkataan Bunda yang agak menghawatirkan namun ternyata sudah terjadi.

Bunda pernah bilang,
Suatu hari nanti akan datang saat dimana
Seorang laki-laki tidak lagi akrab dengan perkakasnya
Tak mampu mengerjakan pekerjaan ringan seperti membuat rangkaian listrik sederhana, memperbaiki genteng yang bocor, lantai keramik yang rusak, mengganti keran, memperbaiki engsel pintu, menyolder atau bahkan sekedar menggergaji kayu, membuka pembungkus kabel atau memasang regulator gas.
Dan perempuan tidak lagi akrab dengan dapurnya
Kemampuan memasak itu akan semakin berkurang dari generasi ke generasi , bahkan mereka tak mampu lagi membedakan antara ketumbar dan merica, antara lengkuas, jahe, kencur dan kunyit, antara cabai rawit dengan cabai tanjung, beras dan beras ketan.

Dosen evolusi dan biokonservasiku juga pernah berkata : “dari waktu ke waktu, standar kehidupan manusia semakin tinggi dan keadaan tersebut tidak dapat dikembalikan, tidak pula dapat dicegah. Itulah mengapa semakin hari, sumberdaya alam yang kita gunakan semakin meningkat jumlahnya, ini bukan semata-mata karena populasi manusia semakin meningkat, tetapi juga karena tuntutan standar kehidupan manusia tersebut”.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ada korelasinya antara perkataan dosenku dengan perkataan Bunda. Peningkatan standar kehidupan berarti kondisi bagi manusia untuk hidup semakin nyaman (bahkan terlalu nyaman) dan vice versa!

Segalanya serba instan dan serba mudah. Sampai akhirnya manusia akan kehilangan kemampuannya sedikit-demi sedikit. Kemampuan dasarnya untuk bertahan, menganalisa dan melakukan aksi ketika dihadapkan dengan situasi tertentu : untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, semakin lama manusia semakin lemah dan manja (?). Fenomena tersebut memang nyatanya sudah terjadi, terutama pada mereka yang dibesarkan dengan lingkungan serba ada, serba nyaman dan serba terfasilitasi.

Kalau… kondisi kehidupan dikembalikan ke 2000 tahun yang lalu, sebagian besar manusia sekarang mungkin akan kesulitan bertahan hidup ya..

Hmm mungkin itu terlalu jauh, tak perlu jauh-jauh, mari kembali ke kehidupan kita sekarang. Kata Ayah roda kehidupan terus berputar, mungkin sekarang kita makmur sejahtera, tapi besok lusa siapa yang tahu. Kalau seandainya nanti kita terjatuh pada titik rendah kehidupan, lepas dari zona nyaman, ketika suatu hari nanti kita dihadapkan pada keadaan yang mengharuskan kita mengganti genteng sendiri, memasak sendiri, memperbaiki lantai yang rusak sendiri, memperbaiki rangkaian listrik sendiri, menanak nasi sendiri tanpa ricecooker, kompor dan gas tapi dengan kayu bakar akankah kita mampu melakukannya?
Apakah generasi setelah kita masih mampu melakukannya?

Jangan-jangan, karena Allah member kita kecukupan dalam hidup, terus kita lupa untuk belajar dan waspada “bagaimana jika nantinya nikmat yang pernah Allah titipkan ini diambil? Dan aku harus bertahan hidup dengan kedua kaki dan tanganku sendiri?”
Kita lupa untuk membekali diri kita sendiri, dan tanpa sadar kita akan menurunkan generasi-generasi yang lemah dan manja, yang apa-apa “tinggal panggil tukang” bahkan untuk hal remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga nggak ya… J

Ayo kita belajar (survive) sama-sama, memperkaya diri dengan kemampuan untuk menghadapi hidup :D
#memotivasidiri #semangatsemangat!!
  
image source : www.sodahead.com



p.s : bagi yang tau tempat jualan makanan Korea dengan harga terjangkau, bisa kasih tau Destry, kasian Destrynya :') (padahal sendirinya pengen)


Senin, 06 Januari 2014

Kontemplasi Embriogenesis Kita



Ini bukan alien, tentu saja.. tapi embrio ayam yang berusia 24>26>33>38>48 jam 

Sedikit creepy memang, tapi kira-kira bisa memberikan gambaran mengenai proses pembentukan aku, kamu, kita

Dulu kita pernah berbentuk seperti selembar kertas, hanya lempengan sel yang berlapis-lapis
lempengan tersebut kemudian melekuk dan melipat membentuk rongga 

Rongga yang pertama kali terbentuk adalah apa yang sekarang menjadi bagian dari kepala sampai tulang ekor kita, tempat sistem syaraf pusat berada (Central Nervous System : brain and spinal cord)
Dari sana pula kelak kita akan dibangkitkan bukan? 

Jika ada sedikiiiiiit saja kesalahan dalam proses ini, bisa jadi aku, kamu, kita lahir 'tanpa kepala' (anacephaly), spina bifida, atau cacat lainnya..
bahkan bisa jadi aku, kamu, kita mati sebelum sempat dilahirkan

Apakah hanya sampai di situ? tentu tidak.. yang kutulis disini hanya sebagian keciiiiiiiiiillnya saja.
Aku, kamu, kita, masih harus melalui berbagai rangkaian proses hingga akhirnya layak disebut manusia 

Kawanku.. Aku, kamu, kita yang terlahir di dunia, kemudian tumbuh mejadi dewasa pernah melewati rangkaian proses penuh resiko ini. Secara statistik, eksistensi setiap individu tidak bisa disebut kebetulan. Itulah yang membuat aku, kamu.. masing-masing dari kita SPESIAL 

Jadi, jangan sampai merasa dirimu tak berarti yaa, ayo kita sama-sama mencari tujuan hidup!
ayo kita hidup dengan semangat!! 


Rabu, 25 Desember 2013

Apa tujuan Allah menciptakanku hidup di dunia?

Pernahkah terbersit pertanyaan...
“Apa tujuan Allah menciptakanku hidup di dunia?”

Akhir-akhir ini pertanyaan tersebut sering sekali melintas di kepalaku.

Sebagai seorang yang pernah mempelajari mekanisme perkembangan hewan, aku sadar betul bahwa manusia adalah bentuk keajaiban penciptaan.
Bagian dari skenarioNya yang maha sempurna
Tak ada satupun bagian darinya yang merupakan kebetulan
Baik proses penciptaannya, maupun segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya.
Ia lahir, tumbuh, berkembang, menjadi dewasa, tua..
Bahkan jauh, jauh sebelum itu
Bagaimana orangtuanya dipertemukan, kemudian orangtua dari orang tuanya, dan seterusnya, mundur ke belakang.
Sampai pada akhirnya, mempertanyakan eksistensi seorang manusia, sama dengan mempertanyakan eksistensi alam semesta.
Bahkan, mempertanyakan mengapa aku bertemu dengan A, atau B, juga sama dengan mempertanyakan eksistensi alas semesta.

Jadi, aku bukan sedang menafikkan eksistensi diriku.. sama sekali bukan
Hanya sedang bingung
Apa yang Allah ingin aku lakukan sehingga Ia menciptakanku lalu membiarkanku hidup di dunia sampai saat ini?
Langkah apa yang Ia ingin aku ambil agar aku dapat memberikan makna bagi jiwa dan raga yang telah Ia berikan?
Jika, aku memutuskan untuk melangkah berdasarkan apa yang kurencanakan, akankah Ia ridha?

Saat aku belum bisa menemukan jawabannya
Saat dimana dalam doa terselip sebaris kalimat
“Ya Allah, jika sampai pada saat dimana hidupku di dunia ini sudah tak lagi ada artinya, jika keberadaanku di dunia ini sudah tak lagi dapat memberikan manfaat sedikitpun, saat itu ambillah aku”
Atau dalam pemikiran tergila dan termustahil
“Jika waktuku bisa kuberikan, ambillah.. berikan saja pada mereka yang lebih layak memilikinya, mereka yang kiranya hidupnya bisa memberikan lebih banyak manfaat bagi orang lain”.


Sabtu, 26 Oktober 2013

Kontemplasi : Senyawa Metabolit Sekunder

"Bisnis metabolit sekunder adalah bisnis yang sexy, pricenya bahkan bisa lebih tinggi dari a bulk of diamond" -dosen rekayasa metaboli tumbuhan-

Hingga saat ini manusia masih bergantung pada metabolit sekunder yang di diproduksi oleh tumbuhan untuk bahan aktif dari berbagai jenis obat-obatan. Hal tersebut dilakukan karena beberapa senyawa metabolit memiliki jalur sintesis serta bentuk yang kompleks sehingga sulit dibuat molekul sintetiknya oleh manusia. Termasuk diantaranya senyawa metabolit sekunder (terpenoid indol alkaloid) vinblastine dan vincristine yang diproduksi oleh Catharanthus roseus, topik penelitianku kini.

Kedua senyawa ini masih umum digunakan sebagai bahan aktif obat kemoterapi kanker untuk menghambat aktifitas mitotik sel (dijual dengan merk dagang Velban dan Oncovin). Harga kedua senyawa yang fantastis menjadi salah satu penyebab tak tertolongnya penderita kanker karena tak mampu membelinya. 

Hingga saat ini Vinblastine sulfat 96% masih dihargai sebesar ±66.9 SGD/mg sementara vincristine sulfat 96-105% dihargai sebesar ±203.5 SGD/mg (katalog SIGMA 2013) 
Harga tersebut belum termasuk pajak dan biaya pengiriman.. hingga pada akhirnya menjadi >2 kali lipat harga katalog ketika masuk ke Indonesia (yang ini curcol, hehe).

tanaman kecil yang sering kita jumpai di pinggir jalan ini mampu memproduksi >130 senyawa metabolit sekunder, beberapa diantaranya dapat memberikan pengaruh fisiologis pada manusia. Allahuakbar:)
(foto : Iskandar, 2013)

Harganya yang sangat mahal memang masuk akal...

Karena fungsi dari metabolit sekunder adalah untuk plant survival dan dapat bersifat autotoksik, secara alami tumbuhan hanya memproduksi senyawa metabolit sekunder dalam jumlah yang saaaaangat sedikit.
Jadi... jika kita ingin mendapatkan metabolit sekunder untuk skala industri, kita memerlukan biomassa tanaman yang banyak, proses ekstraksi yang sulit serta memakan biaya tinggi. Akibatnya harga senyawa metabolit sekunder yang kita hasilkan menjadi sangat mahal. 
Misalkan, tanaman Catharantus roseus berusia 6 bulan hanya menghasilkan vinblastine dan vincristine masing-masing sebanyak 0.0003% dari berat kering daun (mature leaf) . Maka untuk mendapatkan 1 kg vinblastine atau vincristine kita memerlukan ±333 ton daun kering. Daun kering lhoo, sangat banyak bukan?

Alternatif lain yang bisa manusia lakukan adalah membuat senyawa semi sintetik metabolit sekunder dengan mengolah prekursornya (bahan baku) menjadi senyawa yang diharapkan. Senyawa prekursor memiliki bentuk yang lebih sederhana, dapat disintetis atau diekstrak dari tumbuhan ketika jumlahnya lebih tinggi dibanding senyawa akhir yang diharapkan.
Dalam hal ini, harga prekursor harus lebih murah dibanding senyawa yang diinginkan. Misalkan, produsen membuat vinblastin (±66.9 SGD/mg) dari senyawa prekursor vindolin (±15.6 SGD/mg) dan catharanthin (±7.5 SGD/mg).


skema dimerisasi vindoline dan catharanthine untuk memproduksi vinblastine
(O'Connor dan Maresh, 2006)

Namun, pembuatan senyawa semi sintetik juga masih belum efisien karena sangat bergantung pada availabilitas senyawa prekursor. Karena keterbatasan tersebut, dalam 25 tahun ke belakang, para peneliti mencoba menyerahkan kembali mekanisme produksi pada sistem hidup.. mengembalikannya lagi pada tanaman itu sendiri sebagai "pabrik"nya, dengan kultur jaringan dan rekayasa bioproses. Sehingga dapat dihasilkan senyawa vinblastine dan vincristine dengan konsentrasi tinggi dalam biomassa yang lebih sedikit. 

kulturku <3

Bagiku ini adalah bahan perenungan, secanggih apapun sistem yang dibuat manusia, bahkan tidak akan pernah bisa menyamai sistem yang dibuat Allah. 

Makhluk hidup adalah sistem yang sangat efisien dan luar biasa. Contohnya tanaman kecil Catharanthus roseus tadi itu, melalui mekanisme biosintesis kompleks tanaman kecil itu mampu memproduksi >130 senyawa terpenoid indol alkaloid, yang untuk memproduksi SATU atau DUA diantaranya saja manusia dengan teknologinya masih belum sanggup. Jangankan untuk meniru, untuk mengetahui mekanisme biosintesis utuhnya saja hingga kini masih belum bisa manusia lakukan.

mekanisme biosintesis vinblastine dan vincristine (masih belum lengkap) (Zhou et al., 2010)

Bisa direnungkan.. berapa lagi generasi peneliti yang dibutuhkan? butuh berapa tahun waktu yang dibutuhkan "hanya" untuk mempelajari satu bagian dari tanaman kecil, satuuuu saja makhluk ciptaanNya yang luarbiasa??

Betapa terbatasnya ya kemampuan yang kita miliki, dan betapa luarbiasanya Allah... :)

Vincristine

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?" Qs Asy Syu'araa : 5


pustaka dalam teks ini :

O’Connor, S.E., Maresh, J.J. (2006). Chemistry and Biology of Monoterpenoid Indole Alkaloid Biosynthesis, A Review. National Product Report 23. pp 532-547.
Shukla, A.K., Shasany, A.K., Gupta, M.M., Khanuja, P.S. (2006). Transcriptome analysis in Catharanthus roseus leaves and roots comparative terpenoid indole alkaloid profiles. Journal of Experimental Botany Vol.57, No.14. pp.3921-3932.
Zhou, M-L., Hou, H-L., Zhu, X-M., Shao, J-R., Wu, Y-M., Tang, Y-X. (2010). Molecular regulation of terpenoid indole alkaloids pathway in the medicinal plant, Catharanthus roseus. Academic Journals. pp.663-673.