Halaman

Senin, 14 November 2016

Untuk Kakak #1

Seperti Ayahmu yang kehadirannya tak pernah Bunda duga namun selalu diharapkan,

dalam banyak do'a-do'a panjang, yang rupanya Ia kabulkan sekaligus dalam satu tahun masehi ini.

Kalian adalah anugerah sekaligus cobaan, yang menguji timbangan kufur dan syukur dalam hati Bunda.

Keberadaanmu mengajarkan Bunda arti sabar, sayang dan cinta.

Tak pernah Bunda mengira, bahwa foto Ayahmu dan rekaman suaranya --iya, Ayahmu, laki-laki yang namanya baru saja Bunda kenal tak lama sebelum dirimu ada-- adalah obat paling mujarab saat Bunda demam, lemas, atau tak bisa berbicara karena harus mengatur nafas agar tidak memuntahkan makanan yang baru saja Bunda makan.

Terimakasih Kakak atas kehidupanmu di rahim Bunda, terimakasih sudah tumbuh dan berkembang dengan sehat :)



   2016.11.09 - 18:53

Jumat, 26 Agustus 2016

The Stranger


Mungkin akan tiba suatu masa dalam hidup seorang gadis di mana “cinta” bukan substansi utama, layaknya sebagian besar tema lagu-lagu hits kekinian dari jaman dahulu kala
Mungkin akan tiba suatu masa dalam hidup seorang gadis di mana kata “sayang” menjadi sesuatu yang belum teridentifikasi, layaknya benih yang akan tumbuh seiring berjalannya waktu
Mungkin akan tiba suatu masa dalam hidup seorang gadis di mana galau menjadi satu kata bias tak bermakna, menyisakan tawa konyol atas kesia-siaan waktu yang pernah terbuang

Saat itu adalah saat di mana sang orang asing yang baru saja menyentuh hidupnya tetiba menjadi “the coolest man on earth that I’ve ever known” yang dengan gagah berani mengambil alih tanggung jawab sang gadis dari Ayahnya melalui perjanjian antara ia dengan Tuhan.

Saat itu adalah saat di mana pintu cinta dan sayang Tuhan bukakan sepenuhnya, membiarkannya mengalir deras mengiringi waktu hingga maut memisahkan, tanpa keraguan, tanpa kesia-siaan.





Selasa, 26 Juli 2016

duaratussepuluh


Anak perempuan itu sengaja kutahan di kelas saat bel pulang telah berdentang setengah jam lalu

Ini sudah kesekian kalinya ia kubujuk untuk menulis, menulis dalam artian “sekedar mengikuti” bentuk huruf di papan tulis, karena ia memang belum bisa membaca, atau mengeja.

Semester lalu aku hampir memutuskan untuk membuatnya tinggal kelas setelah bermusyawarah dengan Ibunya, yang saat kutemui sedang asyik membuat sapu lidi di halaman rumahnya.

Namun setelah meminta pertimbangan rekan-rekan seperjuangan, keputusan itu kuurungkan, mengingat tingkat kehadirannya di kelas yang terbilang tinggi.

Berat untuk orang yang idealis macam diriku, tapi apa mau dikata. Idealisme, ekspektasi, harus kuenyahkan.

Disaat sekolah-sekolah di perkotaan sibuk dengan bagaimana-cara-mengimplementasikan-Kurikulum-2013-nya, di sini membuat anak-anak (dan guru) mau datang ke sekolah adalah prioritas utama,
Tak peduli apapun kurikulumnya, tak peduli apapun buku paket yang digunakannya (yang mana sebagian terbit di tahun yang sama saat aku masih siswa SD).

Anak itu masih belum mau menulis, hanya memandangiku sambil sesekali tersenyum, aku balas memandangnya, tak terasa air mataku mengalir.

“Akang sampe kapan ngoni begini teros? Akang bagaimana kalo ngoni so besar nanti?”

Mungkin kejauhan, tapi saat aku memandang wajah kanak-kanaknya, aku melihat gambaran sebuah generasi, satu contoh diantara sekian banyak yang ada, entah itu di belahan Timur Indonesia, di Garut yang sepelemparan batu dari Ibukota, atau bahkan di tubuh Ibukota sendiri, bagai rambut alis yang tak tampak oleh mata.

Tanpa sadar aku lepas kontrol dan menangis terisak-isak.

Bukan, bukan menangisi ketidakmampuannya membaca,

Aku menangisi orangtuanya yang masih belum paham betul pentingnya bisa baca-tulis-hitung,
Aku menangisi guru-gurunya “guru sesungguhnya” yang malas datang ke sekolah,
Aku menangisi anak-anakku yang terjebak zona nyaman dalam pelukan tanahnya yang gemah ripah loh jinawi,

Aku juga menangisi diriku yang gagal sebagai seorang pemimpin di kelas.

Dua ratus sepuluh hari dan terus kuhitung,

Saat terakhir kali aku memandang wajahnya. Wajah yang memberikan banyak makna dan pelajaran, tentang hidup, tentang rasa syukur, tentang beratnya tugas para pemimpin, yang membuat para calon khalifah enggan bertakhta, yang membuat seorang Habibie sulit tidur.

Wajah kanak-kanakmu, yang masih berjuang dengan huruf, sementara yang lain sudah berpusing memikirkan MEA.

Sampai berjumpa nanti Anak-anakku, saat Ibu punya keberanian untuk kembali menyapa kalian.
Terimakasih telah berbaik sangka, do’a Ibu selalu saat mengingat kalian :)