Halaman

Selasa, 26 Juli 2016

duaratussepuluh


Anak perempuan itu sengaja kutahan di kelas saat bel pulang telah berdentang setengah jam lalu

Ini sudah kesekian kalinya ia kubujuk untuk menulis, menulis dalam artian “sekedar mengikuti” bentuk huruf di papan tulis, karena ia memang belum bisa membaca, atau mengeja.

Semester lalu aku hampir memutuskan untuk membuatnya tinggal kelas setelah bermusyawarah dengan Ibunya, yang saat kutemui sedang asyik membuat sapu lidi di halaman rumahnya.

Namun setelah meminta pertimbangan rekan-rekan seperjuangan, keputusan itu kuurungkan, mengingat tingkat kehadirannya di kelas yang terbilang tinggi.

Berat untuk orang yang idealis macam diriku, tapi apa mau dikata. Idealisme, ekspektasi, harus kuenyahkan.

Disaat sekolah-sekolah di perkotaan sibuk dengan bagaimana-cara-mengimplementasikan-Kurikulum-2013-nya, di sini membuat anak-anak (dan guru) mau datang ke sekolah adalah prioritas utama,
Tak peduli apapun kurikulumnya, tak peduli apapun buku paket yang digunakannya (yang mana sebagian terbit di tahun yang sama saat aku masih siswa SD).

Anak itu masih belum mau menulis, hanya memandangiku sambil sesekali tersenyum, aku balas memandangnya, tak terasa air mataku mengalir.

“Akang sampe kapan ngoni begini teros? Akang bagaimana kalo ngoni so besar nanti?”

Mungkin kejauhan, tapi saat aku memandang wajah kanak-kanaknya, aku melihat gambaran sebuah generasi, satu contoh diantara sekian banyak yang ada, entah itu di belahan Timur Indonesia, di Garut yang sepelemparan batu dari Ibukota, atau bahkan di tubuh Ibukota sendiri, bagai rambut alis yang tak tampak oleh mata.

Tanpa sadar aku lepas kontrol dan menangis terisak-isak.

Bukan, bukan menangisi ketidakmampuannya membaca,

Aku menangisi orangtuanya yang masih belum paham betul pentingnya bisa baca-tulis-hitung,
Aku menangisi guru-gurunya “guru sesungguhnya” yang malas datang ke sekolah,
Aku menangisi anak-anakku yang terjebak zona nyaman dalam pelukan tanahnya yang gemah ripah loh jinawi,

Aku juga menangisi diriku yang gagal sebagai seorang pemimpin di kelas.

Dua ratus sepuluh hari dan terus kuhitung,

Saat terakhir kali aku memandang wajahnya. Wajah yang memberikan banyak makna dan pelajaran, tentang hidup, tentang rasa syukur, tentang beratnya tugas para pemimpin, yang membuat para calon khalifah enggan bertakhta, yang membuat seorang Habibie sulit tidur.

Wajah kanak-kanakmu, yang masih berjuang dengan huruf, sementara yang lain sudah berpusing memikirkan MEA.

Sampai berjumpa nanti Anak-anakku, saat Ibu punya keberanian untuk kembali menyapa kalian.
Terimakasih telah berbaik sangka, do’a Ibu selalu saat mengingat kalian :)