Halaman

Sabtu, 26 Oktober 2013

Kontemplasi : Senyawa Metabolit Sekunder

"Bisnis metabolit sekunder adalah bisnis yang sexy, pricenya bahkan bisa lebih tinggi dari a bulk of diamond" -dosen rekayasa metaboli tumbuhan-

Hingga saat ini manusia masih bergantung pada metabolit sekunder yang di diproduksi oleh tumbuhan untuk bahan aktif dari berbagai jenis obat-obatan. Hal tersebut dilakukan karena beberapa senyawa metabolit memiliki jalur sintesis serta bentuk yang kompleks sehingga sulit dibuat molekul sintetiknya oleh manusia. Termasuk diantaranya senyawa metabolit sekunder (terpenoid indol alkaloid) vinblastine dan vincristine yang diproduksi oleh Catharanthus roseus, topik penelitianku kini.

Kedua senyawa ini masih umum digunakan sebagai bahan aktif obat kemoterapi kanker untuk menghambat aktifitas mitotik sel (dijual dengan merk dagang Velban dan Oncovin). Harga kedua senyawa yang fantastis menjadi salah satu penyebab tak tertolongnya penderita kanker karena tak mampu membelinya. 

Hingga saat ini Vinblastine sulfat 96% masih dihargai sebesar ±66.9 SGD/mg sementara vincristine sulfat 96-105% dihargai sebesar ±203.5 SGD/mg (katalog SIGMA 2013) 
Harga tersebut belum termasuk pajak dan biaya pengiriman.. hingga pada akhirnya menjadi >2 kali lipat harga katalog ketika masuk ke Indonesia (yang ini curcol, hehe).

tanaman kecil yang sering kita jumpai di pinggir jalan ini mampu memproduksi >130 senyawa metabolit sekunder, beberapa diantaranya dapat memberikan pengaruh fisiologis pada manusia. Allahuakbar:)
(foto : Iskandar, 2013)

Harganya yang sangat mahal memang masuk akal...

Karena fungsi dari metabolit sekunder adalah untuk plant survival dan dapat bersifat autotoksik, secara alami tumbuhan hanya memproduksi senyawa metabolit sekunder dalam jumlah yang saaaaangat sedikit.
Jadi... jika kita ingin mendapatkan metabolit sekunder untuk skala industri, kita memerlukan biomassa tanaman yang banyak, proses ekstraksi yang sulit serta memakan biaya tinggi. Akibatnya harga senyawa metabolit sekunder yang kita hasilkan menjadi sangat mahal. 
Misalkan, tanaman Catharantus roseus berusia 6 bulan hanya menghasilkan vinblastine dan vincristine masing-masing sebanyak 0.0003% dari berat kering daun (mature leaf) . Maka untuk mendapatkan 1 kg vinblastine atau vincristine kita memerlukan ±333 ton daun kering. Daun kering lhoo, sangat banyak bukan?

Alternatif lain yang bisa manusia lakukan adalah membuat senyawa semi sintetik metabolit sekunder dengan mengolah prekursornya (bahan baku) menjadi senyawa yang diharapkan. Senyawa prekursor memiliki bentuk yang lebih sederhana, dapat disintetis atau diekstrak dari tumbuhan ketika jumlahnya lebih tinggi dibanding senyawa akhir yang diharapkan.
Dalam hal ini, harga prekursor harus lebih murah dibanding senyawa yang diinginkan. Misalkan, produsen membuat vinblastin (±66.9 SGD/mg) dari senyawa prekursor vindolin (±15.6 SGD/mg) dan catharanthin (±7.5 SGD/mg).


skema dimerisasi vindoline dan catharanthine untuk memproduksi vinblastine
(O'Connor dan Maresh, 2006)

Namun, pembuatan senyawa semi sintetik juga masih belum efisien karena sangat bergantung pada availabilitas senyawa prekursor. Karena keterbatasan tersebut, dalam 25 tahun ke belakang, para peneliti mencoba menyerahkan kembali mekanisme produksi pada sistem hidup.. mengembalikannya lagi pada tanaman itu sendiri sebagai "pabrik"nya, dengan kultur jaringan dan rekayasa bioproses. Sehingga dapat dihasilkan senyawa vinblastine dan vincristine dengan konsentrasi tinggi dalam biomassa yang lebih sedikit. 

kulturku <3

Bagiku ini adalah bahan perenungan, secanggih apapun sistem yang dibuat manusia, bahkan tidak akan pernah bisa menyamai sistem yang dibuat Allah. 

Makhluk hidup adalah sistem yang sangat efisien dan luar biasa. Contohnya tanaman kecil Catharanthus roseus tadi itu, melalui mekanisme biosintesis kompleks tanaman kecil itu mampu memproduksi >130 senyawa terpenoid indol alkaloid, yang untuk memproduksi SATU atau DUA diantaranya saja manusia dengan teknologinya masih belum sanggup. Jangankan untuk meniru, untuk mengetahui mekanisme biosintesis utuhnya saja hingga kini masih belum bisa manusia lakukan.

mekanisme biosintesis vinblastine dan vincristine (masih belum lengkap) (Zhou et al., 2010)

Bisa direnungkan.. berapa lagi generasi peneliti yang dibutuhkan? butuh berapa tahun waktu yang dibutuhkan "hanya" untuk mempelajari satu bagian dari tanaman kecil, satuuuu saja makhluk ciptaanNya yang luarbiasa??

Betapa terbatasnya ya kemampuan yang kita miliki, dan betapa luarbiasanya Allah... :)

Vincristine

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?" Qs Asy Syu'araa : 5


pustaka dalam teks ini :

O’Connor, S.E., Maresh, J.J. (2006). Chemistry and Biology of Monoterpenoid Indole Alkaloid Biosynthesis, A Review. National Product Report 23. pp 532-547.
Shukla, A.K., Shasany, A.K., Gupta, M.M., Khanuja, P.S. (2006). Transcriptome analysis in Catharanthus roseus leaves and roots comparative terpenoid indole alkaloid profiles. Journal of Experimental Botany Vol.57, No.14. pp.3921-3932.
Zhou, M-L., Hou, H-L., Zhu, X-M., Shao, J-R., Wu, Y-M., Tang, Y-X. (2010). Molecular regulation of terpenoid indole alkaloids pathway in the medicinal plant, Catharanthus roseus. Academic Journals. pp.663-673.

Senin, 14 Oktober 2013

Kultur Jaringan Edisi 1_Kenapa kulturku konta teruuuuuussss???

Biasanya aku menghabiskan waktu 5 jam untuk inisiasi, 2 jam untuk autoklaf dan 3 jam untuk membuat media + mempersiapkan alat-alat. 
Setelah inisiasi dan menunggu selama minimal 3-7 hari, rasanya sedih ketika melihat bakteri dan jamur sesukanya tumbuh dalam botol kultur… (='_'=)


Kulturku yang terkontaminasi jamur, unyu tapi sedih (foto : kaChang, 2013)

Membuat kultur aseptik sebenarnya bukan sesuatu yang sulit, hanya saja terkadang ada beberapa kecerobohan dan hal-hal kecil yang sering terlupakan. Sayangnya, kecerobohan dan hal-hal kecil itu bisa menjadi penentu apakah rangkaian pekerjaan yang sudah dilakukan  menjadi sia-sia atau tidak.

Berikut beberapa poin terkait meminimalisir kontaminasi yang bisa kushare berdasarkan pengalaman terbatasku selama ini. Karena berdasarkan pengalaman, tidak semuanya ilmiah dan merujuk pada literatur ilmiah.. hehe tapi semoga bermanfaat yaa terutama buat yang baru mempelajari teknik kultur jaringan tumbuhan :D

1.      Eksplan 
Syarat mutlak dari eksplan adalah sehat. Maksudnya sehat secara morfologi serta bebas dari hama dan penyakit, artinya bebas dari serangga dan patogen. Satu hal yang perlu kita ingat baik-baik, proses sterilisasi yang kita lakukan hanyalah sterilisasi permukaan. Sterilisasi itu tidak akan ada artinya jika eksplan yang kita gunakan sudah terkena hama  atau terinfeksi patogen (pada jaringan pembuluh atau korteks).
  
Aphid feeding :) (sumber : Campbell et al., 2009)

Serangga seperti Aphid atau kutu daun biasanya mendapatkan makanan dengan “menyedot” cairan floem, analoginya seperti nyamuk yang meminum darah kita. Ada luka tak kasat mata pada daun yang mereka buat setiapkali mereka makan. Pada luka kecil tersebut bisa saja terdapat spora jamur atau bakteri yang tidak dapat dibersihkan ketika sterilisasi, sekalipun kita sudah menambahkan surfaktan dalam agen sterilan kita. Hati-hati dalam memilih eksplan, gunakan bagian tumbuhan lain yang tidak terserang hama, atau karantina tumbuhan dengan memotong bagian-bagian yang sudah terkena hama dan biarkan mereka memperbaiki diri dengan sehat  :D. 

Lain halnya dengan patogen. Saranku, ada baiknya lupakan saja tanaman yang sudah terserang patogen apalagi jika patogen tersebut menyebar melalui jaringan pembuluh... hehehe.

Daun tebu yang diduga terinfeksi Xanthomonas albilineans, dicirikan dengan garis kuning sejajar pembuluh
(Foto : Iskandar, 2011)

Berdasarkan pengalamanku ketika bekerja dengan tanaman tebu (Saccharum officinarum) ketika salah satu bagian tanaman terserang patogen ada kemungkinan seluruh bagian tanaman berpotensi terinfeksi. Lebih baik cari tanaman lain yang masih sehat, kecuali jika yang akan diisolasi sebagai eksplan adalah bagian meristematiknya misalkan : shoot tip. Bagian ini steril dari patogen, karena terdiri dari jaringan yang belum berdiferensiasi dan membelah dengan cepat.

Skema iseng isolasi mata tunas tebu.. hihihi (Iskandar, 2011)

Selain patogen, bakteri endogen juga seringkali menjadi masalah. Tidak semua bakteri endogen adalah patogen, secara alami beberapa tumbuhan bersimbiosis mutualisme dengan bakteri untuk hidup atau menghasilkan senyawa tertentu. Namun ketika dilakukan kultur in vitro, bakteri endogen yang memiliki siklus hidup singkat akan berkembang jauh lebih cepat dibanding sel-sel tumbuhan itu sendiri. Akibatnya akan terjadi persaingan dalam mendapatkan nutrisi, atau bakteri yang overgrowth tersebut mengeluarkan senyawa-senyawa tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan eksplan. Tentunya hal tersebut tidak kita harapkan.

Salah satu cara ekstrim yang mungkin bisa dilakukan adalah penambahan antibiotik ke dalam media atau penambahan disinfektan seperti kloroks komersil dengan konsentrasi rendah (<1%). Mengapa kusebut ekstrim? Ada kemungkinan antibiotik maupun kloroks akan direspon sebagai cekaman oleh eksplan kita. Akibatnya eksplan sulit tumbuh atau bahkan terjadi perubahan ekspresi gen.. (^_^’)

2.      Agen sterilan
Pemilihan dan penggunaan agen sterilan merupakan salah satu hal yang perlu dioptimasi dan terkadang memakan waktu lama. Berkiblat pada jurnal saja terkadang tidak cukup... karena sekalipun spesies tumbuhan yang digunakan sama, bisa jadi lingkungan tumbuhnya berbeda. Daaan jangan lupa... kita hidup di negara tropis, surganya mikroorganisme :).

Biasanya aku menggunakan antibiotik, kloroks komersil (mengandung NaClO 5,25%), surfaktan (tween20), alkohol atau proses pembakaran untuk sterilisasi, tergantung tanaman (dan bagian tanaman) yang digunakan sebagai eksplan. Tapi belakangan ini aku hanya menggunakan kloroks dan Tween20 saja karena lebih murah (kloroks-nya) dan lebih efektif.

Penggunaan antibiotik dapat dilakukan untuk eksplan tertentu seperti akar, rhizome maupun seluruh bagian tumbuhan yang letaknya rentan dengan sumber kontaminasi misalkan tanah. Tidak perlu menggunakan senyawa aktif murni yang harganya mahal, kita bisa menggunakan antibiotik komersil yang biasa digunakan oleh petani untuk sterilisasi di luar laminar (misal Agrept yang mengandung senyawa aktif streptomycin sulfat 20%). Adakalanya agen sterilan toksik seperti HgCl digunakan jika kontaminan terlalu banyak atau sulit dibasmi.

Untuk eksplan yang tidak terlalu “kotor”, perendaman eksplan dengan alkohol 96% dilanjutkan dengan pembakaran singkat sudah cukup untuk membuatnya steril (foto : Iskandar, 2011)


Dibandingkan dengan penggunaan larutan kloroks konsentrasi tinggi, aku lebih memilih menggunakan larutan seri untuk sterilisasi. Misal : untuk sterilisasi eksplan daun Tapak dara (Catharanthus roseus), aku lebih memilih mengencerkan kloroks komersil dengan konsentrasi 20% + tween20 selama 20 menit dilanjutkan dengan perendaman dalam kloroks 10% selama 15 menit... dibandingkan menggunakan kloroks 50% selama 5 menit. Cara ini lebih efisien dan tidak terlalu merusak jaringan eksplan sekalipun pengerjaannya lebih lama. Kombinasi alkohol 70% dan kloroks tidak lagi kugunakan karena jaringan pada eksplan lebih mudah rusak selama proses steriliasi akibatnya pertumbuhan eksplan menjadi lambat.

3.      Teknik kultur
Pada dasarnya setiap orang memiliki gayanya sendiri ketika bekerja dalam laminar, tidak ada ketentuan baku di mana seharunya kuletakkan botol media, dimana kuletakkan cawan petri, dimana kuletakkan bunsen, dimana kuletakkan botol alkohol, bagaimana caraku memegang botol kultur atau pinset. Semuanya akan mudah dan efisien ketika dikerjakan senyaman mungkin kan? Apalagi pekerjaan di laminar menghabiskan waktu berjam-jam.

Biasanya aku menggunakan plastik atau alumunium foil untuk menutup botol kultur. Dalam proses pengerjaan, minimalkan kontak antara jari tangan dengan mulut botol sekalipun kita menggunakan gloves. Manfaatkan pinset untuk membuka, menyimpan dan memegang tutup plastik/alumunium foil untuk meminimalisir kontaminasi dari mikroflora kulit kita :).

4.      Pakaian
Ini dia hal kecil yang sering kita lupakan, biasanya kita menggunakan jas lab ketika bekerja di laminar bukan? Nah… seberapa sering kita mencuci jas lab kita?

Sejujurnya aku hanya mencuci jas lab ketika bagian tangannya sudah tampak kotor, itu bisa berarti satu bulan sekali.. hahaha. Intinya, rajin-rajin mencuci jas lab, kita tak tahu berapa banyak spora dari debu yang menempel di bagian lengan jas lab kita setelah tak di cuci sekian lama (setahun kebelakang aku tidak lagi menggunakan jas lab ketika bekerja di laminar. Baju yang kupakai sehari-hari lebih bersih karena baru kucuci).

Jangan lupa, alangkah baiknya menggunakan gloves dan masker :D

5.      Berdoa dan percaya diri
Poin ini kuletakkan terakhir, supaya diingat karena dibaca paling terakhir.. hehe
Awali segala sesuatunya dengan berdoa termasuk ketika melakukan pekerjaan lab. Berurusan dengan makhluk hidup memang tidak mudah, adakalanya pekerjaan terhambat karena mereka enggan tumbuh, kontaminasi, atau bahkan mati. Mintalah kemudahan dan hasil terbaik pada Yang Maha Berkehendak. Setelah berikhtiar dan berdoa, pasrahkan segala sesuatu padaNya. InshaaAllah semangat kita tak akan pernah bernar-benar jatuh sekalipun pekerjaan kita terhambat dan gagal.. karena kita yakin apapun itu adalah jalan terbaik dariNya.. jangan menyerah, jangan lelah mencoba :D

Lakukan segala sesuatunya dengan percaya diri, mindset positif akan secara tidak sadar menggerakkan fisik dengan performa lebih baik.
  
Semangat in vitro! InshaaAllah bisa! \(^,^)/


<3 <3 <3


Nisa Nur Iskandar
Kelompok Keahlian Sains dan Bioteknologi Tumbuhan
Sarjana Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB 2009
Magister Bioteknologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB 2013