Halaman

Jumat, 24 Januari 2014

Aku Anak Akselerasi Bahagia

"apa yang dirimu kejar?"
hening
"nggak tau.... yang kutau aku bahagia" hari ini aku tersenyum mantap.

Pertanyaan seperti itu sering ditanyakan orang-orang padaku dan pertanyaan-pertanyaan lain macam "kamu nggak sedih masa remajamu dikorbankan begitu? masa-masa sekolah kan cuma sekali..." atau "terbebani nggak sih kamu?" atau "memangnya kamu nggak cape?" atau "kerjaanmu belajar terus ya? memangnya nggak bosen?"

Hihi, memang kadang-kadang bingung jawab apa. Adakalanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu terngiang-ngiang apalagi saat sedang galau. Tapi kalau dipikirkan baik-baik, aku memang nggak punya jawaban yang bener-bener pas untuk semua pertanyaan itu. Yang kutau aku bahagia dan bersyukur atas jalan yang Ia berikan untukku.

Akselerasi di dunia pendidikan saat ini, mungkin bukan suatu hal yang langka. Banyak teman-temanku yang juga berusia muda bahkan lebih muda dariku mengenyam pendidikan formal melebihi standar usianya. 

Apakah akselerasi itu beban? jawabannya "ya" kalau ditinjau dari segi effort untuk "mengejar" materi sekaligus "tidak" karena akselerasi menjadi semacam "penyaluran energi" untuk sesuatu yang baik (pada kasusku dan mungkin sebagian besar dari mereka) dan jika keduanya ditimbang, bobot kata "tidak" lebih berat dibandingkan "ya".


(sumber gambar : goodlive.id.lv)

Program akselerasi kutempuh saat aku SMP dulu. MTs Asih Putera tempatku bersekolah adalah sekolah yang terhitung sangat baru. Saat aku masuk pada tahun 2004, aku adalah murid angkatan ke-4. Program akselerasi angkatan kami baru dibuka ketika kami akan naik ke kelas VIII. Saat itu sekolah memberikan undangan pada beberapa murid untuk mengikuti tes seleksi masuk program akselerasi. Undangan diberikan berdasarkan kemajuan siswa selama setahun di kelas VII, ditinjau dari segi akademik dan psikologis. Siswa di sekolah kami memang tidak banyak, hanya sekitar 25-30 orang per-angkatan dan masing-masing siswa memiliki mentor sehingga perkembangan kami dapat terawasi dengan sangat baik .

Singkat cerita setelah melalu proses tes yang cukup panjang (terutama tes psikologi), dari 20 orang yang diberikan undangan, aku menjadi 1 dari 2 orang yang dapat mengikuti program akselerasi kelas VIII ke kelas IX. Karena dalam satu tahun aku harus menguasai materi kelas VIII dan IX sekaligus, aku dan Fathimah temanku, harus belajar ekstra. Saat itu sekolah kami memang sudah menggunakan sistem moving class (keren ya). Untuk mengejar materi yang akan di UANkan, kami mengganti jadwal kelas kesenian, wawasan islam dunia, tafaqquh fiddin dll. untuk kelas VIII (di MTs ada kurikulum muatan Agama selain kurikulum wajib) dengan kelas matematika, kimia, fisika, biologi, b.indonesia, b.inggris untuk kelas IX. Meski demikian kami tetap harus ikut ujian materi-materi tersebut untuk mendapatkan nilai, jadi kami berlajar dua kali lipat dan ujian dua kali lebih banyak dibanding yang lain hahahaha .

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, bagiku akselerasi menjadi semacam "penyaluran energi" untuk sesuatu yang baik. Semenjak kecil aku adalah anak yang mudah bosan dan sulit di atur, guru SD ku pernah mengeluh pada orang tuaku bahwa aku "terlalu keras kepala dan sulit di atur". Meskipun lahir dengan nama "Nisa" yang di ambil dari kata perempuan, sikapku (sedikiiiit ) melenceng dari sana. Dari dulu aku sangat suka ruang terbuka, hobiku memanjat, melompati sungai dan menangkap ikan di kali atau sawah, tempat belajarku adalah gunungan batu di pinggir rel kereta api, bajuku selalu kotor tidak pernah rapi, aku terlalu cuek rambutku terurai begitu saja tak pernah mau diikat atau di jepit. 

Siapa sangka energiku untuk melakukan hal-hal tersebut ternyata dapat tersalurkan ke arah yang lebih baik dengan akselerasi. Bukan berarti ruang gerakku menjadi terbatas, hanya saja hidupku menjadi lebih teratur. Saat MTs aku masih bisa melakukan hal-hal yang kusuka, masih dapet penghasilan sendiri dengan jualan jajanan pasar bersama sahabatku dan boneka sisa eksport di sekolah (ini juga hobi turunan dari Ayah), di saat kelulusan aku juga masih bisa mendapatkan predikat "Best Student kategori Natural*" karena kedekatanku dengan alam** hehe .

Karena memang usiaku setahun lebih muda saat masuk SD dulu, ditambah dengan akselerasi, aku lulus dari MTs dan masuk SMA saat usiaku 13 tahun. Ada sedikit rasa khawatir saat baru masuk SMA dulu, khawatir tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan khawatir nggak punya teman. Apalagi saat itu adalah saat pertama kalinya aku sekolah di sekolah negeri (TK, SD, SMPku swasta semua). Ternyata kekhawatiranku itu tak beralasan, kehidupan SMA ku fine-fine aja, sama seperti siswa pada umumnya meski teman-temanku menjulukiku "adek" atau "bocah" dan panggilan-panggilan sayang lainnya #geer karena faktor usiaku, terlebih karena tubuhku yang pendek hihihi .

Jadi anak akselerasi, bukan berarti tak bisa membaur dengan yang lain, biasa aja kok... Dan bukan berarti kerjaanku hanya belajar, rugi banget... sebenernya asalkan tugas yang diberikan oleh guru dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan dikerjakan sendiri (jangan nyontek!) belajar cukup kalau mau ujian saja. Aku juga nggak pernah ikut les selama sekolah. Sekali-kalinya ikut les hanya saat akan masuk kuliah, itupun sering bolos karena malas. 

Aku lulus SMA dan masuk kuliah saat usiaku 16 tahun, di sini aku tidak merasa sendirian dan sama sekali tidak merasa khawatir karena tempat ini mempertemukanku dengan kawan-kawan yang usianya sama denganku atau bahkan lebih muda dariku . Rasanya malah semakin bersemangat dan semakin tertantang. Semangat itu terbawa hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti program fasttrack (S1 dan S2 hanya dalam 5 tahun). Terlebih karena aku kuliah di jurusan yang kusukai sehingga alhamdulillah, sama sekali tak ada keterpaksaan dalam menjalaninya. InshaaAllah aku lulus Juli 2014 ini, doakan yaa.. .

Selama kuliah aku mengisi waktu luangku dengan berbagai organisasi dan kepanitiaan mulai dari tingkat satu sampai detik-detik menuju kelulusan S1 #nekat hahaha. Sebisa mungkin waktu luangku kugunakan untuk melakukan sesuatu yang produktif (pe-de banget, semoga bisa dikatakan demikian). Entah semenjak kapan, kalau tidak disibukkan dengan sesuatu, aku justru kebingungan, galau (banget), nglantur dan sama sekali nggak bersemangat dalam menjalani hidup #lebay. 

Ada satu dari banyak kekuranganku, yang dalam kasusku bisa jadi merupakan dampak dari akselerasi. Menurut artikel ilmiah yang kubaca :


"Siswa (akselerasi) memperoleh percepatan dalam perkembangan intelektual (ranah kognitif), tapi tidak memperoleh percepatan dalam perkembangan ranah afektif dan psikomotorik". 
Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Asmadi Alsa, Guru Besar Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

Kalimat diatas sedikit banyak memang benar dalam kasusku terutama mengenai ranah afektif. Menurut orang-orang aku cenderung masih bersikap kekanakan dan terkadang tidak peka terhadap orang lain (terutama dalam hal menganalisa maksud dari sikap orang lain terhadapku). Mereka masih memanggilku dengan sebutan "bocah" dan tubuhku masih saja pendek #ganyambung. Tapi aku ragu apakah kalimat tersebut dapat digunakan untuk menggeneralisir dampak dari akselerasi atau tidak, karena tidak seluruh anak akselerasi yang kukenal bersikap demikian.

Intinya jika aku diminta jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan kondisiku (dan mungkin juga sering ditanyakan pada mereka anak-anak aksel), aku akan menjawab bahwa :

"Akselerasi bukan berarti mengorbankan masa remaja, akselerasi adalah kesempatan berharga dan sarana bagi beberapa orang untuk menyalurkan energinya dalam hal positif. Kami tidak merasa terbebani dalam menjalaninya karena kami tidak merasa terpaksa. Kami punya banyaaaaaak kegiatan lain selain belajar, kami punya banyak teman dan kami hidup dengan bahagia " #mutergayabalerina.

dan jika ditanya
"apa yang dirimu kejar?"
aku hanya bisa jawab "nggak tau, yang jelas bukan 'gelar' yang kukejar (jaman sekarang gelarmah bisa dibeli asal punya uang #miris)....hanya saja yang kutau, aku bahagia dan bersyukur menjalaninya. Dan kalau misalkan aku nggak aksel nih ya, belum tentu kaaaan aku bisa ketemu dan kenal sama kamyuuuuh ufufufu "



bosen ah lari sendiri, sekarang maunya lari berdua :'> #nahloh
(sumber gambar : academicdepartments.musc.edu)




*MTs ku memberikan penghargaan pada muridnya dengan berbagai kategori, seperti best student kategori natural, best student kategori musik, kategori terkritis dsb dsb. Di sini, bakat kami di hargai, bukan hanya dari sisi akademik semata, asik ya

**waktu MTs dulu ada banyak kegiatan outdoor seperti tadabbur alam dan kemah alam, outbond dan semacam pramuka tiap hari jumat, kami punya kelompok taklif dan masing-masing kelompok punya kebun sendiri yang harus ditanami dan dirawat. Pokoknya aku bahagiaaaa sekali sekolah di MTs Asih Putera .

Rabu, 15 Januari 2014

Manusia Lemah (?)

Selasa sore kemarin, dengan randomnya Destry ngajak makan di Toki Poki. Akhirnya ba’da ashar, kami pergi dengan hanya mengandalkan goo*l* map yang ternyata tidak akurat. Katanya tempat itu tepat berada di samping McD, sehingga kami memutuskan berhenti naik angkot di situ. Ternyata yang ada di samping McD itu hanya gedung PLN, tak ada tanda-tanda, maupun ruang tersembunyi yang mengindikasikan keberadaan Toki Poki #HIKS…

Akibatnya kami harus menyusuri sepanjang jalan mulai dari simpang Dago sampai setelah Borma demi bisa mencicipi makanan Korea (harga mahasiswa) itu. Setelah dengan teliti mengamati kiri-kanan, akhirnya kami menemukan Toki Poki yang bertempat di Jl. Hj. Juanda no.343 #horeee.
Bannernya sih masih tertempel di bangunan rumah makannya, tapi ternyata Toki Pokinya sudah lama tutuuuuuup saudara-saudara #HIKSlagi.

Singkat cerita (karena Destry tak mau rugi) kami memutuskan untuk tetap membeli makanan di sekitar situ dan akhirnya memilih makan di Yomart Fast (?) hingga hari gelap dan turun hujan. Saat pulang -seperti wisata kuliner random sebelum-sebelumnya- kami terlibat perbincangan menarik.
Perbincangan kami sepanjang perjalanan menuju kosan itu mengingatkanku dengan perkataan Bunda yang agak menghawatirkan namun ternyata sudah terjadi.

Bunda pernah bilang,
Suatu hari nanti akan datang saat dimana
Seorang laki-laki tidak lagi akrab dengan perkakasnya
Tak mampu mengerjakan pekerjaan ringan seperti membuat rangkaian listrik sederhana, memperbaiki genteng yang bocor, lantai keramik yang rusak, mengganti keran, memperbaiki engsel pintu, menyolder atau bahkan sekedar menggergaji kayu, membuka pembungkus kabel atau memasang regulator gas.
Dan perempuan tidak lagi akrab dengan dapurnya
Kemampuan memasak itu akan semakin berkurang dari generasi ke generasi , bahkan mereka tak mampu lagi membedakan antara ketumbar dan merica, antara lengkuas, jahe, kencur dan kunyit, antara cabai rawit dengan cabai tanjung, beras dan beras ketan.

Dosen evolusi dan biokonservasiku juga pernah berkata : “dari waktu ke waktu, standar kehidupan manusia semakin tinggi dan keadaan tersebut tidak dapat dikembalikan, tidak pula dapat dicegah. Itulah mengapa semakin hari, sumberdaya alam yang kita gunakan semakin meningkat jumlahnya, ini bukan semata-mata karena populasi manusia semakin meningkat, tetapi juga karena tuntutan standar kehidupan manusia tersebut”.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ada korelasinya antara perkataan dosenku dengan perkataan Bunda. Peningkatan standar kehidupan berarti kondisi bagi manusia untuk hidup semakin nyaman (bahkan terlalu nyaman) dan vice versa!

Segalanya serba instan dan serba mudah. Sampai akhirnya manusia akan kehilangan kemampuannya sedikit-demi sedikit. Kemampuan dasarnya untuk bertahan, menganalisa dan melakukan aksi ketika dihadapkan dengan situasi tertentu : untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, semakin lama manusia semakin lemah dan manja (?). Fenomena tersebut memang nyatanya sudah terjadi, terutama pada mereka yang dibesarkan dengan lingkungan serba ada, serba nyaman dan serba terfasilitasi.

Kalau… kondisi kehidupan dikembalikan ke 2000 tahun yang lalu, sebagian besar manusia sekarang mungkin akan kesulitan bertahan hidup ya..

Hmm mungkin itu terlalu jauh, tak perlu jauh-jauh, mari kembali ke kehidupan kita sekarang. Kata Ayah roda kehidupan terus berputar, mungkin sekarang kita makmur sejahtera, tapi besok lusa siapa yang tahu. Kalau seandainya nanti kita terjatuh pada titik rendah kehidupan, lepas dari zona nyaman, ketika suatu hari nanti kita dihadapkan pada keadaan yang mengharuskan kita mengganti genteng sendiri, memasak sendiri, memperbaiki lantai yang rusak sendiri, memperbaiki rangkaian listrik sendiri, menanak nasi sendiri tanpa ricecooker, kompor dan gas tapi dengan kayu bakar akankah kita mampu melakukannya?
Apakah generasi setelah kita masih mampu melakukannya?

Jangan-jangan, karena Allah member kita kecukupan dalam hidup, terus kita lupa untuk belajar dan waspada “bagaimana jika nantinya nikmat yang pernah Allah titipkan ini diambil? Dan aku harus bertahan hidup dengan kedua kaki dan tanganku sendiri?”
Kita lupa untuk membekali diri kita sendiri, dan tanpa sadar kita akan menurunkan generasi-generasi yang lemah dan manja, yang apa-apa “tinggal panggil tukang” bahkan untuk hal remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga nggak ya… J

Ayo kita belajar (survive) sama-sama, memperkaya diri dengan kemampuan untuk menghadapi hidup :D
#memotivasidiri #semangatsemangat!!
  
image source : www.sodahead.com



p.s : bagi yang tau tempat jualan makanan Korea dengan harga terjangkau, bisa kasih tau Destry, kasian Destrynya :') (padahal sendirinya pengen)


Senin, 06 Januari 2014

Kontemplasi Embriogenesis Kita



Ini bukan alien, tentu saja.. tapi embrio ayam yang berusia 24>26>33>38>48 jam 

Sedikit creepy memang, tapi kira-kira bisa memberikan gambaran mengenai proses pembentukan aku, kamu, kita

Dulu kita pernah berbentuk seperti selembar kertas, hanya lempengan sel yang berlapis-lapis
lempengan tersebut kemudian melekuk dan melipat membentuk rongga 

Rongga yang pertama kali terbentuk adalah apa yang sekarang menjadi bagian dari kepala sampai tulang ekor kita, tempat sistem syaraf pusat berada (Central Nervous System : brain and spinal cord)
Dari sana pula kelak kita akan dibangkitkan bukan? 

Jika ada sedikiiiiiit saja kesalahan dalam proses ini, bisa jadi aku, kamu, kita lahir 'tanpa kepala' (anacephaly), spina bifida, atau cacat lainnya..
bahkan bisa jadi aku, kamu, kita mati sebelum sempat dilahirkan

Apakah hanya sampai di situ? tentu tidak.. yang kutulis disini hanya sebagian keciiiiiiiiiillnya saja.
Aku, kamu, kita, masih harus melalui berbagai rangkaian proses hingga akhirnya layak disebut manusia 

Kawanku.. Aku, kamu, kita yang terlahir di dunia, kemudian tumbuh mejadi dewasa pernah melewati rangkaian proses penuh resiko ini. Secara statistik, eksistensi setiap individu tidak bisa disebut kebetulan. Itulah yang membuat aku, kamu.. masing-masing dari kita SPESIAL 

Jadi, jangan sampai merasa dirimu tak berarti yaa, ayo kita sama-sama mencari tujuan hidup!
ayo kita hidup dengan semangat!! 


Kamis, 02 Januari 2014

Simfoni Tugas Akhir

Kalau diingat-ingat, rasanya hampir dua tahun kebelakang sebagian besar waktu hidupku diisi oleh tugas akhir selain tidur haha :)
Bagi yang "bermain" dengan makhluk hidup, mengerjakan tugas akhir bukan sekedar teori di atas kertas. Hofstadter's law bahkan bisa saja tidak berlaku #lebay .Terlalu banyak faktor "x" yang mungkin hanya dapat teratasi dengan bertawakal sepenuhnya pada Yang Memiliki hidup. 


Bagi seseorang yang moody dan idealis seperti aku, diperlukan rasa cinta dan kesadaran penuh dalam melakukan pekerjaan terutama yang menguras pikiran, tenaga, waktu dan emosi :D
Ketika kita mencintai apa yang kita kerjakan, sekalipun kita harus mengorbankan waktu liburan atau waktu istirahat di malam hari, rasanya akan ringan-ringan saja.

Di awal semester 6, dosen waliku menyarankanku untuk tidak ikut dalam proyek dosen. Bukan tanpa alasan, menurut beliau (yang juga merupakan dosen mata kuliah Metodologi Penelitian) :

"akan ada sesuatu yang hilang dalam rantai penelitian ketika dirimu 'hanya' mengerjakan proyek Dosen, yaitu menemukan masalah, kemudian membangun ide dari masalah tersebut". 

Saat itu aku ragu, "apa yang harus kulakukan?". Mencari ide sendiri tentu tidak mudah, selain itu ada rasa rendah diri ketika melihat kawan-kawan yang sudah tergabung dalam proyek Dosen.

"Tentu saja, ide-ide yang dimiliki pada Dosen untuk proyeknya sangat menarik dan advance, itu karena mereka sudah Doktor.. sementara dirimu kan masih mahasiswa. Tidak masalah meskipun ide risetmu tampak biasa-biasa saja. Yang penting kamu melakukan keseluruhan prosesnya, mulai dari menemukan masalah sampai didapatkannya hasil penelitian. Itulah scientist" 

Aku yang saat itu sedang bingung pada akhirnya memutuskan untuk melakukan apa yang beliau sarankan. Aku mencari sendiri apa yang ingin kukerjakan, sekalipun itu berarti aku harus mencari sendiri biaya penelitian (bisa diakali dengan menggunakan tabungan, beasiswa dan menghemat uang makan) sekaligus menentukan sendiri timeline dalam waktu yang sangat terbatas... dan komitmen untuk bekerja keras.

Awalnya memang tak mudah, karena betapa awamnya diriku dan betapa terbatasnya wawasanku, aku jadi tak bisa menentukan parameter keberhasilan yang baik sehingga terlalu banyak celah dalam proposal penelitianku. Baru setelah empat kali revisi, proposal penelitianku bisa diterima.
Memori yang menyenangkan untuk di kenang :)

Setiap orang memiliki pilihannya masing-masing dan setelah berjalan hampir dua tahun rasanya ini memang pilihan yang tepat buatku :)

Selama berjalannya TA banyak sekali bantuan tak terduga yang (akan sangat-sangat-sangat) keterlaluan jika aku tidak mensyukurinya. Mulai dari Dosen pembimbing yang sangat baik, dan Dosen-dosen lainnya yang memberikan banyak masukan ilmu serta bantuan materi berupa alat dan bahan kimia yang sangat mahal harganya (padahal jelas TA ku bukan proyek, dan kalau benar-benar biaya sendiri tanpa bantuan Dosen-dosen yang baik hati itu mungkin aku tak mampu) ; keberadaan rekan-rekan Lab yang mempermudah TAku (Kak Asep, KaChang, KaIra, KaFitri, KaMarfi, MakAyu, MakEma) ; keberadaan Pak Ori dkk.; keberadaan Pak Narto yang tak pernah bosan menghibur, mengganggu dan diganggu 24 jam ; teman-teman yang selalu memberikan semangat dan terutama doa kedua orang tua, hingga rintangan yang ada sejauh ini masih dapat teratasi :)


Setiap preparat membutuhkan waktu 8 hari untuk dibuat, sebagian pita rusak, sebagian tak terwarna dengan baik, sebagian terwarna terlalu tebal, meski begitu semuanya adalah memori yang menyenangkan untuk di kenang, bagian kecil dari kegagalan :)

Memang adakalanya semangat untuk mengerjakan TA benar-benar drop. Biasanya setelah tak henti-hentinya melakukan rutinitas yang sama berhari-hari ditambah kewajiban kuliah, saat lab begitu sepi, saat pulang larut sendirian dan harus kembali esok subuhnya, saat menyadari betapa terbatasnya materi dan fasilitas yang ada untuk merealisasikan penelitian...

Tapi ketika tersadarkan kembali bahwa "ini adalah langkah yang dirimu pilih!" dan saat teringatkan kembali latar belakang "mengapa" penelitian itu harus dilakukan, semangat yang telah layu bisa perlahan-lahan bangkit dengan sendirinya.

Mungkin bagi beberapa orang tampaknya aku terlalu habis-habisan dan terlalu idealis.
Tapi bagiku, ini adalah proses dari pembuatan sebuah karya, ada perasaan senang, tertantang sekaligus frustasi yang sama seperti ketika membuat karya seni, tanyakan saja perasaan itu pada seorang seniman :)
Selain itu ada perasaan hormat yang bermetamorfosis menjadi rasa tanggung jawab pada Dosen pembimbingku yang telah membiarkanku melakukan apa yang ingin kulakukan, dan memberikan begitu banyak bantuan.
Serta rasa simpati pada seseorang yang seringkali berucap "andai Bapak dulu punya kesempatan sekolah kayak Nisa" setiapkali tanpa sadar aku mengeluh setelah lelah mengerjakan pekerjaan Lab :)

Semua itu.. menjadi beban moral ketika aku malas atau leyeh leyeh mengerjakan TA hehehe

Yah, setiap orang memiliki pilihannya masing-masing dengan resikonya masing-masing...
Sekalipun hanya bagian kecil dari perjuangan sebagai seorang mahasiswa, ada banyak hal menarik yang bisa dijadikan pelajaran di sana.

Itu simfoni TAku, bagaimana denganmu? :)