Halaman

Tampilkan postingan dengan label realita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label realita. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Juli 2016

duaratussepuluh


Anak perempuan itu sengaja kutahan di kelas saat bel pulang telah berdentang setengah jam lalu

Ini sudah kesekian kalinya ia kubujuk untuk menulis, menulis dalam artian “sekedar mengikuti” bentuk huruf di papan tulis, karena ia memang belum bisa membaca, atau mengeja.

Semester lalu aku hampir memutuskan untuk membuatnya tinggal kelas setelah bermusyawarah dengan Ibunya, yang saat kutemui sedang asyik membuat sapu lidi di halaman rumahnya.

Namun setelah meminta pertimbangan rekan-rekan seperjuangan, keputusan itu kuurungkan, mengingat tingkat kehadirannya di kelas yang terbilang tinggi.

Berat untuk orang yang idealis macam diriku, tapi apa mau dikata. Idealisme, ekspektasi, harus kuenyahkan.

Disaat sekolah-sekolah di perkotaan sibuk dengan bagaimana-cara-mengimplementasikan-Kurikulum-2013-nya, di sini membuat anak-anak (dan guru) mau datang ke sekolah adalah prioritas utama,
Tak peduli apapun kurikulumnya, tak peduli apapun buku paket yang digunakannya (yang mana sebagian terbit di tahun yang sama saat aku masih siswa SD).

Anak itu masih belum mau menulis, hanya memandangiku sambil sesekali tersenyum, aku balas memandangnya, tak terasa air mataku mengalir.

“Akang sampe kapan ngoni begini teros? Akang bagaimana kalo ngoni so besar nanti?”

Mungkin kejauhan, tapi saat aku memandang wajah kanak-kanaknya, aku melihat gambaran sebuah generasi, satu contoh diantara sekian banyak yang ada, entah itu di belahan Timur Indonesia, di Garut yang sepelemparan batu dari Ibukota, atau bahkan di tubuh Ibukota sendiri, bagai rambut alis yang tak tampak oleh mata.

Tanpa sadar aku lepas kontrol dan menangis terisak-isak.

Bukan, bukan menangisi ketidakmampuannya membaca,

Aku menangisi orangtuanya yang masih belum paham betul pentingnya bisa baca-tulis-hitung,
Aku menangisi guru-gurunya “guru sesungguhnya” yang malas datang ke sekolah,
Aku menangisi anak-anakku yang terjebak zona nyaman dalam pelukan tanahnya yang gemah ripah loh jinawi,

Aku juga menangisi diriku yang gagal sebagai seorang pemimpin di kelas.

Dua ratus sepuluh hari dan terus kuhitung,

Saat terakhir kali aku memandang wajahnya. Wajah yang memberikan banyak makna dan pelajaran, tentang hidup, tentang rasa syukur, tentang beratnya tugas para pemimpin, yang membuat para calon khalifah enggan bertakhta, yang membuat seorang Habibie sulit tidur.

Wajah kanak-kanakmu, yang masih berjuang dengan huruf, sementara yang lain sudah berpusing memikirkan MEA.

Sampai berjumpa nanti Anak-anakku, saat Ibu punya keberanian untuk kembali menyapa kalian.
Terimakasih telah berbaik sangka, do’a Ibu selalu saat mengingat kalian :)

Sabtu, 29 Maret 2014

Jika Kau (mau) Mengerti :)

#waktu istirahat makan siang
#di sebuah foodcourt di.. hmm,  sebut saja salah satu daerah perkantoran di sebuah kota metropolitan.

A : “Hmmm jadi apa yang kamu lakukan?”

S : “Ya, meneliti, what else?”

A : “selama 7 tahun terakhir?? Selalu? Setiap hari?”

S : “hm hmm”

A : “membosankan bukan? Hah”
#A membenarkan letak dasi, memasukkan satu kotak gula dalam cangkir tehnya.

S : “well I don’t think so
#S tersenyum

A : “haha, kau pasti bercanda”
#A membenarkan letak dasi, bersender pada kursinya sambil menyeruput teh dengan santai

S : ”we made that
#S menunjuk wadah gula

A : “Hah?”

S : “kau tau darimana itu berasal?”

A : “gula? Tebu tentu saja”

S : “ya, tebu.. Saccharum officinarum L.”

A : “so whaat?!”

S : “Ada.. baaaanyak sekali varietas tebu yang berbeda di setiap daerah, setiap negara. Seluruh varietas itu memiliki nilai rendemen gula yang berbeda… ah kadar gula yang berbeda. Jadi tidak semuanya baik digunakan untuk membuat gula”

A : “Ya, I know..”
#A menjawab malas dan pura-pura tahu, mata mengerling ke atas.

S : “ Ya… Maka manusia akan menyeleksinya, hanya yang terbaik yang mereka kembangkan. Sisanya? terlupakan. Jumlahnya akan menurun, dan yang buruk adalah keanekaragaman genetiknya juga akan menurun. Homogen, nyaris homogen. Kau tahu apa artinya? Penyebaran penyakit mudah terjadi, daya adaptasi rendah, survival rate menurun. Dengan kata lain….. kepunahan.

Tugas pertama kami, adalah dengan tidak membiarkan itu terjadi. Plasma nutfah yang ada harus tetap terjaga. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi ke depan jika kau kehilangannya. Bahkan bentuk plasma nutfah yang mungkin kau anggap tak berguna sekalipun. Atau bahkan kau anggap rumput.

Yang kau jaga adalah makhluk hidup,  A. Mereka akan mati. Maka kau harus mepertahankannya dengan kata lain mengembangbiakkannya. Rejuvenil kau bilang? ya.. semacam itu… setiap varietas harus kau pertahankan. Kau tanam, kau rawat, dan sebelum dia mati kau harus sudah mendapatkan keturunannya untuk kau tanam kau rawat.. dan seterusnya dan seterusnya…

Dan perlu kau ingat. Ada baaanyak varietas tebu. Bukan hanya satu”.

A : “ya, membosankan kubilang”.

S : “No, itu belum selesai. Manusia tidak pernah puas bukan? Mereka juga terus berkembang biak. Maka kebutuhan juga meningkat, dan itu harus diimbangi dengan peningkatan produksi. Untuk tumbuhan seperti tebu, kami melakukannya dengan cara yang lebih singkat… “

A : “singkat? Kau pasti bercanda! bertahun-tahun dalam lab kau sebut singkat??”

S : “ya, jauh lebih singkat dibandingkan dengan persilangan konvensional untuk mendapatkan benih unggul. Kau tidak akan pernah tau apakah persilangan itu akan berhasil atau tidak untuk mendapatkan keturunan dengan sifat yang diharapkan. Dan itu memakan waktu”.

A : “jadi, apa yang kau sebut singkat itu?”

S : “In vitro, kau melakukannya dengan teknik kultur jaringan. Kau tahu? Tidak seperti hewan, tumbuhan bersifat lebih… totipoten. Kau bisa melakukan dediferensiasi dan diferensiasi dengan metode yang lebih mudah”.

A : “Ya, ya, ya… aku tahu, aku tahu. Lalu dari sebuah daun, atau akar, atau batang kau bisa mendapatkan sebuah individu tanaman baru bukan??”

S : “ya, tapi tidak semudah itu. Jika hanya itu, kau hanya membantu mengembangbiakkannya secara vegetatif”.
#S tersenyum

S : “Tugas kami adalah untuk mendapatkan varietas baru yang unggul. Maka yang pertama kami tumbuhkan adalah sekumpulan sel yang bisa kau sebut kalus. Butuh sekitar 3 minggu untuk mendapatkan itu.

Kemudian kalus itu akan kami beri perlakuan yang bisa menyebabkan terjadinya mutasi. Secara fisika, atau kimia. Hmm, tebu apa yang kau inginkan? “

A : “ya, apapun lah. Tebu yang bisa tumbuh di lahan asam mungkin, haha”.

S : “Oke, tebu yang bisa tumbuh pada lahan asam… Kalus tersebut kemudian akan kami kembangkan pada medium dengan kondisi asam.

Maka kau akan mendapatkan ada  bagian kalus yang bertahan hidup setelah perlakuan, ada pula yang mati. Yang bertahan hidup adalah yang kemungkinan besar mengalami mutasi. Tapi kau tidak pernah tau apa yang terjadi, karena mutasi itu terjadi secara acak. Selanjutnya yang kau lakukan adalah memperbanyak kalus itu”.

A : “Aku tidak butuh kalus, aku butuh gula”.

S : “ya, sabar sedikit. Ketika kalus tersebut cukup banyak, kau akan memindahkannya ke medium yang baru. Disana kau lakukan diferensiasi dan pembentukan organ, kau tumbuhkan daun dengan menggunakan zat pengatur tumbuh sepert auk…”

A : “Auksin sitokini, whatever

S : “Benar, auksin dan sitokinin, dimana konsentrasi sitokinin lebih tinggi dibanding auksin. Lalu setelah itu kau tumbuhkan akar”.

A : “dan menjadi sebuah tanaman kecil, dan kau tanam di tanah lalu menjadi gula”.

S : “tidak semudah itu, kau harus mengaklimatisasinya terlebih dahulu, membiasakannya dengan lingkungan baru yang lebih menantang, lalu menyeleksinya hingga kau benar-benar mendapatkan apa yang kau mau dari sepetak tanah asam.. hingga menghasilkan itu”
# S sambil menunjuk wadah gula

A : “hmmmh”
# A merengut bosan

S : “Mungkin apa yang kulakukan, kami lakukan, tampak begitu tak berarti dan hanya buang-buang waktu bagimu, bagi sebagian besar mereka yang ada di luar sana. Adakalanya pada saat-saat tertentu itu terasa menyakitkan dan menyedihkan bagi kami. Tapi percayalah, kami ada di belakang layar perjuangan untuk mempertahankan kehidupan Homo sapiens, spesies dengan rasio otak besar dan ego yang tak kalah besarnya.

Terkadang, kami sendiri tak bisa merasakan manfaat dari apa yang kami kerjakan dengan mempertaruhkan waktu hidup kami. Karena jika kau tahu, makhluk hidup adalah sebentuk misteri tak berujung, hanya sebagian kecil dari sebagian kecil kepingan saja yang sanggup seorang peneliti genggam. Tapi aku yakin, ketika kepingan demi kepingan mulai bersatu membentuk sebuah gambar, keturunan kitalah yang akan merasakannya. Seperti gula yang kau nikmati itu… jika kau mengerti”

#S tersenyum sambil membayangkan ratusan generasi peneliti ke belakang yang mempertaruhkan waktu hidupnya hanya untuk “sekedar” berkutat dengan tebu, gula dan segala hal tentang in vitro.

# A masih diam mencerna sambil menyeruput tehnya yang terasa manis.

Jika kau (mau) mengerti kami.. :)

Sabtu, 21 Desember 2013

Kuatkan langkahmu

Adik-adikku sayang
Sebentar lagi kalian akan bertarung untuk mendapartkan kursi di bangku kuliah, benar?
Kakak dengar mekanisme penerimaan mahasiswa baru sekarang mempersulitmu?

Adikku, segala upaya yang dibuat akan selalu menyisakan celah bagi mereka yang dibutakan nafsu. Tak peduli mekanisme seleksi apapun yang digunakan,
Tentu akan sulit bagimu seorang diri melawan kejahatan terorganisir yang telah lama mendarah daging dalam lingkungan pendidikan kita.

Biarlah mereka bermain-main dengan angka,
Mengotak-atik nilai agar tampak naik eksponensial, atau berkonspirasi pada detik-detik ujian-ujian Nasional menyebarkan jaring kunci jawaban yang entah darimana datangnya. Kita sama-sama tahu, memang begitulah wajah pendidikan kita… penuh coreng moreng.
Tapi meski sama-sama tahu, sangat sedikit yang berani bicara vokal.
Karena di sini, orang yang berprinsip dan berani menyuarakan kejujuran justru dihakimi dan dianggap munafik .

Teruntuk adik-adikku sayang yang terdzhalimi, yang pulang sekolah dalam keadaan menangis.
Ilmu itu suci adikku, percayalah pada kemampuanmu dalam mengembannya.
Seleksi alam akan berlaku bagi mereka yang berusaha mencuranginya. Jangan sampai kau kalah dan terlarut bersama mereka adikku, pegang erat prinsip itu di hatimu.
Kuatkan langkahmu, minta perlindungan dan pertolonganNya selalu.

Percayalah adikku, betapapun buruknya rintangan di hadapanmu, jika Ia telah berkehendak tak ada satupun yang dapat menghalanginya.
Percayalah adikku, percaya bahwa dirimu memang layak mengemban ilmu dengan kemampuanmu J

Bismillah
Kita.. sama-sama belajar ya.. J


“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) yang penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan ”. Qs Hud 15-16.

Selasa, 16 Oktober 2012

Diorama SMA


Setiap orang memiliki masa lalunya masing-masing, memiliki kisahnya masing-masing. Semuanya pasti pernah merasakan jatuh, pernah merasa tak yakin, pernah merasa kecewa, atau mungkin pernah dikhianati… Begitulah hidup... Indah bukan?

Saat itu aku resmi menjadi siswi akselerasi setelah melewati beberapa tahapan tes dan wawancara. Kami berdua, aku dan Fathimah menghabiskan tahun kedua melahap mata pelajaran kelas VIII dan IX sekaligus. Saat itu sistem yang berlaku di sekolah kami adalah moving class . Pelajaran seperti seni rupa dan sosial kami skip dan kami ganti dengan mata pelajaran eksak yang akan di UANkan.

Aku sendiri tak pernah berencana akan menjadi anak aksel. Sama sekali tak menyangka energi kenakalan dan sifat “keras kepala akut” ku bisa dialihkan dengan belajar… Hahaha

Ketika itu aku menjalaninya dengan trial and error. Tak punya goal yang signifikan dan tak punya gambaran mengenai apa yang akan terjadi kedepannya. Hingga akhirnya tiba hari UAN yang ada di pikiranku cuma ini : lulus Alhamdulillah.. nggak lulus juga nggak masalah yang penting dicoba.. hehe

Singkat cerita akhirnya masa itu selesai dan keluarlah hasil UAN. Ternyata NEM ku biasa-biasa aja, meskipun tak meleset jauh dari prediksiku. Sayangnya NEMku kurang 0,5 dari syarat masuk SMA terbaik di kota Cimahi. Dengan berat hati aku terpaksa memilih salah satu SMA di cluster 2. Dan akhirnya aku memilih salah satunya dengan alasan : disana organisasi ekstra kulikulernya bagus dan lebih banyak. That’s it!

Aku bisa melihat kekecewaan dari kedua orang tuaku, terutama Ayah. Tapi selama bersekolah disana aku menemukan guru-guru yang luar biasa, yang mengajarkan siswanya dengan hati. Dan sahabat-sahabatku  yang luar biasa, yang memiliki semangat juang tak kalah dengan siswa-siswa unggulan. Selain untuk belajar, sisa waktuku kuhabiskan di rohis dan OSIS. Rasanya menyenangkan :D

Semester pertama bersekolah aku mendapatkan prestasi yang sangat memuaskan. Aku dekat dengan guru-guruku dan temanku banyak. Sedikit mengobati kekecewaan ayah. Tapi sepertinya memang hanya sedikit.. hehe

Dengan modal yang kudapatkan di SMAku yang lama, di pertengahan semester dua, dengan sangat tiba-tiba aku dipindahkan ke SMA terbaik di Kota Cimahi. Alasannya sekolah itu jaraknya lebih dekat dari rumah (10 menit jalan kaki) dibandingkan SMAku yang lama. Tentu alasan utamanya adalah demi masa depan (?), karena saat itu SMA yang Ayah pilihkan merupakan sekolah unggulan.

Dulu mungkin aku benar-benar ingin bersekolah disana tapi meninggalkan kehidupanku di SMAku yang lama rasanya juga tidak mudah. Untungnya aku masih bisa berkunjung sepuas hati untuk bertemu guru-guruku, mereka begitu baik hati menyambutku, mendengar cerita-ceritaku sambil duduk-duduk di taman sekolah…  dan sahabat-sahabatku yang luar biasa itu beberapa kali menyempatkan diri untuk berkunjung kerumahku meskipun jaraknya jauh dari sekolah…#terharu

Seperti yang kuduga, menjadi seorang anak pindahan itu bukan hal yang mudah. Apalagi ketika dirimu adalah seorang anak pindahan dari sekolah yang biasa-biasa saja. Saat itu aku dipandang sebelah mata. Jika kami disuruh membuat kelompok tugas, aku selalu mendapatkan kelompok “sisa”. Hahaha

Saat itu aku bukannya tak mengerti.. Aku cukup tahu diri dan bersabar.. just wait and see guys :p 

Yang paling menyakitkan, nilai yang telah kukumpulkan setengah semester sebelumnya tidak diakui. Agka-angka dalam berkas-berkas yang sudah disiapkan oleh wali kelasku sebelumnya selalu mendapat pandangan sinis. Padahal kurikulum yang diajarkan sama, tapi kualitasnya dianggap tidak memenuhi standar yang berlaku di SMAku yang baru.

“Saya tidak bisa percaya kalau hanya sekedar angka, saya butuh bukti” atau

“Benar nilai yang kamu dapatkan kemarin sebesar ini? Yang ini tidak bisa saya masukkan kedalam raport. Yang akan saya masukkan mulai dari ujian minggu depan”

Mungkin memang seharusnya begitu.. tapi rasanya sakit juga, padahal saat itu aku selalu mengerjakan tugasku dan ujianku dengan sungguh-sungguh. Mau tak mau aku harus berjuang mengumpulkan nilai di sisa waktu setengah semester untuk dituliskan dalam buku raport ku. Hmm…

Aku tak peduli orang melihatku seperti apa, memandangku seperti apa. Yang bisa kulakukan hanya berikhtiar semaksimal mungkin, berdoa… dan jujur (satu hal yang Fathimah ajarkan padaku selama masa akselerasi, hanya dengan mencontohkan, jazakillah Fathim J ).

Tanpa terasa setengah semester berlalu. Saatnya pengumuman ranking...

Pengumuman ranking 3 besar dan juara umum diumumkan ketika upacara bendera. Siswa kelas X yang mendapatkan ranking 3 besar mendapatkan penghargaan dan berhak masuk ke kelas unggulan XI IPA 5… Kelas unggulan.. hhmm.. tak bisa dipungkiri, banyak yang berhasrat untuk masuk kesana..

Aku sih boro-boro mikirin kelas unggulan.. aku pasrah, super pasrah..  tapi ternyata Allah itu memang luar biasa! aku diumumkan mendapatkan ranking 7! Sedikit kecewa, tapi sedikit kaget juga. Ternyata nilai yang hanya kukumpulkan dalam waktu setengah semester cukup signifikan. Alhamdulillah..

Setelah seremoni itu berlangsung teman-temanku mulai kasak-kusuk di kelas.. kenapa? Adakah yang salah?

Eits, ternyata ada yang salah dalam penghitungan skor akhir rapot. Beberapa anak yang rajin menghitung ulang jumlah skor raportnya menemukan kesalahan pada jumlah total. akhirnya tanpa diberi aba-aba kami sekelas menghitung ulang raport kami masing-masing (dan raport temannya bagi yang hobi) dan kami membuat urutan total skor mulai dari yang terbesar (ranking 1). Karena sudah merasa pasrah dan sudah merasa cukup bersyukur dengan urutan ke 7, aku tak begitu antusias, kubiarkan temanku yang menghitung ulang skor raportku.

“Nis, selisih skormu 12. Kamu harusnya ranking 3, bukan ranking 7!”.

Apaaaaaaa???!! Allahuakbar!!.

Kami  langsung menuju ruang guru, menyerahkan hasil penghitungan skor ulang. Dapat ranking 3 itu rasanya seperti menang jadi arang kalah jadi abu. Wali kelasku tak bisa berbuat apa-apa (?) pengumuman telah diluncurkan, piagam telah dicetak dan keputusan mengenai siapa saja penghuni kelas unggulan sudah terlanjur dibuat. Akhirnya aku hanya mendapatkan kata maaf (tak resmi) dari wali kelasku…

Bagiku tak masalah.. tapi Ayah kecewa sekali, seharusnya aku memperjuangkan hak ku…  
Saat itu aku hanya bisa berhusnudzon, aku yakinkan Ayah bahwa kelas unggulan tidak bisa menjamin apapun. Dan dengan masuk kelas regular aku bisa mendapatkan banyak hal dan lebih banyak teman  J

Setidaknya, aku bisa membuktikan bahwa aku bisa.

Begitulah… sekarang disinilah aku. Bersama kalian, di Institut yang diidam-idamkan banyak orang. Aku merasa jalanku begitu indah… sedikit berliku memang, tapi indah…

Tidak ada satupun yang kebetulan… Allah telah merencanakannya sedemikian rupa untukku, tentang apa yang akan terjadi, siapa saja yang kutemui…

Setiap orang memiliki masa lalunya masing-masing, memiliki kisahnya masing-masing. Semuanya pasti pernah merasakan jatuh, pernah merasa tak yakin, pernah merasa kecewa, atau mungkin pernah dikhianati… Haruskah kita mengutuki dan menyerah??

Percayalah pada Allah, alangkah indahnya dan mudahnya bila kita bisa melalui semua itu dengan berhusnudzon..

“Alaisallaahu biahkamilhaakimin? Bukankah Allah Hakim yang paling adil?”



-Untuk teman-temanku yang benar-benar mengenalku, yang tulus tanpa prasangka, yang selalu mengingatkan pada kebaikan, semoga Allah selalu melimpahkan kemudahan dan kasih sayangNya pada kalian -

Senin, 09 Juli 2012

Konsekuensi dari Konsekuensi


"Mereka manusia biasa, laki-laki biasa, perempuan biasa
Namun mereka begitu spesial
Karena mereka AyahBundaku :')"

Berbicara dengan mereka selalu mengantarkan otak cupu ini pada kata tanya “Why” bukan sekedar “What”
Dan hari ini, sekali lagi mereka mempertegas visualisasinya untuk masa depanku..

Baru kusadari ternyata Ayah orang yang cuek, sebagai anak pertama aku dibiarkan memilih sendiri, belajar sendiri. Bunda juga begitu, seingatku untuk hal yang sifatnya akademis Bunda hanya pernah mengajarkanku menggunting dengan rapih sementara Ayah mengajarkanku memasang rangkaian lampu seri dan pararel, selebihnya aku dibiarkan belajar sendiri.

Hobi mereka adalah mengarahkan dan terkadang arahan itu kusalah artikan sebagai perintah (sampai aku merasa menjadi anak terpingit sedunia). Ternyata aku salah…

“ini hidupmu, yang akan menjalankan ya dirimu sendiri. Selagi kami masih sanggup membiayai dan memfasilitasi kalian, sekolahlah yang tinggi. Sebagai orang tua, kami nggak meminta apapun. Ayah dan Bunda akan merasa sangat bersyukur jika kalian jadi orang yang berhasil. Itu aja, nggak lebih”.

Hanya memberi... 
Tak harap kembali.. 
Bagai sang surya menyinari dunia…

Ya.. itulah orangtua..

Dari kata-kata Ayah itu bisa kutarik beberapa kesimpulan :

Pertama, apa yang kujalani sekarang adalah pilihanku. Artinya mau tak mau, suka tak suka aku harus menjalankannya dengan sepenuh hati. Berusaha semaksimal mungkin, berdoa semaksimal mungkin. Karena konsekuensinya aku sendiri yang merasakan. Bukan Ayah yang dapet nilai C kalau aku dapet C, bukan Bunda yang dapet nilai A kalau aku dapet A… (haha maaf ya Ayah :p)

Tapi aku. Hanya aku.. Jadi, aku harus berusaha untuk aku, untuk kebaikanku sendiri.

Kedua, orang tua manapun sepertinya sama. Materi yang mereka perjuangkan dengan fisik dan pemikiran adalah untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Penerus mereka. Investasi akhirat, karena mereka tak memerlukan balasan dunia seperti apa yang Ayah katakan. Mereka sudah merasa sangat bersyukur dan bahagia ketika melihat anak-anak mereka menjadi orang yang lebih berhasil dibandingkan mereka… dalam segala hal.

Lalu, apakah aku bisa begitu teganya menyia-nyiakan usaha mereka dengan main-main selama kuliah?

Jadi, ketika berusaha untuk diri sendiri itu merupakan hal yang tidak mungkin, maka berusahalah untuk mereka. Mungkin begitu…

Tapi apakah itu alasan yang terbaik?
Atau jangan-jangan alasan “demi orangtua” merupakan sebuah bentuk pelarian?
Apakah itu yang benar-benar orangtua harapkan?





Terimakasih AyahBunda, kalian menyadarkanku… meski bagaimanapun, semangat itu harusnya datang dari diriku sendiri.
Aku harus berjuang untuk kesuksesanku sendiri. Jika aku sukses, harapan orangtuaku juga terpenuhi. Itu saja. Konsekuensi dari konsekuensi.



Untuk Ayah dan Bunda tercinta,
semoga anakmu bisa menjadi anak yang shaleh, investasi tak terputus hingga akhirat nanti

Salam cinta,
Anak pertamamu yang cupu :’)