Halaman

Jumat, 24 Januari 2014

Aku Anak Akselerasi Bahagia

"apa yang dirimu kejar?"
hening
"nggak tau.... yang kutau aku bahagia" hari ini aku tersenyum mantap.

Pertanyaan seperti itu sering ditanyakan orang-orang padaku dan pertanyaan-pertanyaan lain macam "kamu nggak sedih masa remajamu dikorbankan begitu? masa-masa sekolah kan cuma sekali..." atau "terbebani nggak sih kamu?" atau "memangnya kamu nggak cape?" atau "kerjaanmu belajar terus ya? memangnya nggak bosen?"

Hihi, memang kadang-kadang bingung jawab apa. Adakalanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu terngiang-ngiang apalagi saat sedang galau. Tapi kalau dipikirkan baik-baik, aku memang nggak punya jawaban yang bener-bener pas untuk semua pertanyaan itu. Yang kutau aku bahagia dan bersyukur atas jalan yang Ia berikan untukku.

Akselerasi di dunia pendidikan saat ini, mungkin bukan suatu hal yang langka. Banyak teman-temanku yang juga berusia muda bahkan lebih muda dariku mengenyam pendidikan formal melebihi standar usianya. 

Apakah akselerasi itu beban? jawabannya "ya" kalau ditinjau dari segi effort untuk "mengejar" materi sekaligus "tidak" karena akselerasi menjadi semacam "penyaluran energi" untuk sesuatu yang baik (pada kasusku dan mungkin sebagian besar dari mereka) dan jika keduanya ditimbang, bobot kata "tidak" lebih berat dibandingkan "ya".


(sumber gambar : goodlive.id.lv)

Program akselerasi kutempuh saat aku SMP dulu. MTs Asih Putera tempatku bersekolah adalah sekolah yang terhitung sangat baru. Saat aku masuk pada tahun 2004, aku adalah murid angkatan ke-4. Program akselerasi angkatan kami baru dibuka ketika kami akan naik ke kelas VIII. Saat itu sekolah memberikan undangan pada beberapa murid untuk mengikuti tes seleksi masuk program akselerasi. Undangan diberikan berdasarkan kemajuan siswa selama setahun di kelas VII, ditinjau dari segi akademik dan psikologis. Siswa di sekolah kami memang tidak banyak, hanya sekitar 25-30 orang per-angkatan dan masing-masing siswa memiliki mentor sehingga perkembangan kami dapat terawasi dengan sangat baik .

Singkat cerita setelah melalu proses tes yang cukup panjang (terutama tes psikologi), dari 20 orang yang diberikan undangan, aku menjadi 1 dari 2 orang yang dapat mengikuti program akselerasi kelas VIII ke kelas IX. Karena dalam satu tahun aku harus menguasai materi kelas VIII dan IX sekaligus, aku dan Fathimah temanku, harus belajar ekstra. Saat itu sekolah kami memang sudah menggunakan sistem moving class (keren ya). Untuk mengejar materi yang akan di UANkan, kami mengganti jadwal kelas kesenian, wawasan islam dunia, tafaqquh fiddin dll. untuk kelas VIII (di MTs ada kurikulum muatan Agama selain kurikulum wajib) dengan kelas matematika, kimia, fisika, biologi, b.indonesia, b.inggris untuk kelas IX. Meski demikian kami tetap harus ikut ujian materi-materi tersebut untuk mendapatkan nilai, jadi kami berlajar dua kali lipat dan ujian dua kali lebih banyak dibanding yang lain hahahaha .

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, bagiku akselerasi menjadi semacam "penyaluran energi" untuk sesuatu yang baik. Semenjak kecil aku adalah anak yang mudah bosan dan sulit di atur, guru SD ku pernah mengeluh pada orang tuaku bahwa aku "terlalu keras kepala dan sulit di atur". Meskipun lahir dengan nama "Nisa" yang di ambil dari kata perempuan, sikapku (sedikiiiit ) melenceng dari sana. Dari dulu aku sangat suka ruang terbuka, hobiku memanjat, melompati sungai dan menangkap ikan di kali atau sawah, tempat belajarku adalah gunungan batu di pinggir rel kereta api, bajuku selalu kotor tidak pernah rapi, aku terlalu cuek rambutku terurai begitu saja tak pernah mau diikat atau di jepit. 

Siapa sangka energiku untuk melakukan hal-hal tersebut ternyata dapat tersalurkan ke arah yang lebih baik dengan akselerasi. Bukan berarti ruang gerakku menjadi terbatas, hanya saja hidupku menjadi lebih teratur. Saat MTs aku masih bisa melakukan hal-hal yang kusuka, masih dapet penghasilan sendiri dengan jualan jajanan pasar bersama sahabatku dan boneka sisa eksport di sekolah (ini juga hobi turunan dari Ayah), di saat kelulusan aku juga masih bisa mendapatkan predikat "Best Student kategori Natural*" karena kedekatanku dengan alam** hehe .

Karena memang usiaku setahun lebih muda saat masuk SD dulu, ditambah dengan akselerasi, aku lulus dari MTs dan masuk SMA saat usiaku 13 tahun. Ada sedikit rasa khawatir saat baru masuk SMA dulu, khawatir tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan khawatir nggak punya teman. Apalagi saat itu adalah saat pertama kalinya aku sekolah di sekolah negeri (TK, SD, SMPku swasta semua). Ternyata kekhawatiranku itu tak beralasan, kehidupan SMA ku fine-fine aja, sama seperti siswa pada umumnya meski teman-temanku menjulukiku "adek" atau "bocah" dan panggilan-panggilan sayang lainnya #geer karena faktor usiaku, terlebih karena tubuhku yang pendek hihihi .

Jadi anak akselerasi, bukan berarti tak bisa membaur dengan yang lain, biasa aja kok... Dan bukan berarti kerjaanku hanya belajar, rugi banget... sebenernya asalkan tugas yang diberikan oleh guru dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan dikerjakan sendiri (jangan nyontek!) belajar cukup kalau mau ujian saja. Aku juga nggak pernah ikut les selama sekolah. Sekali-kalinya ikut les hanya saat akan masuk kuliah, itupun sering bolos karena malas. 

Aku lulus SMA dan masuk kuliah saat usiaku 16 tahun, di sini aku tidak merasa sendirian dan sama sekali tidak merasa khawatir karena tempat ini mempertemukanku dengan kawan-kawan yang usianya sama denganku atau bahkan lebih muda dariku . Rasanya malah semakin bersemangat dan semakin tertantang. Semangat itu terbawa hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti program fasttrack (S1 dan S2 hanya dalam 5 tahun). Terlebih karena aku kuliah di jurusan yang kusukai sehingga alhamdulillah, sama sekali tak ada keterpaksaan dalam menjalaninya. InshaaAllah aku lulus Juli 2014 ini, doakan yaa.. .

Selama kuliah aku mengisi waktu luangku dengan berbagai organisasi dan kepanitiaan mulai dari tingkat satu sampai detik-detik menuju kelulusan S1 #nekat hahaha. Sebisa mungkin waktu luangku kugunakan untuk melakukan sesuatu yang produktif (pe-de banget, semoga bisa dikatakan demikian). Entah semenjak kapan, kalau tidak disibukkan dengan sesuatu, aku justru kebingungan, galau (banget), nglantur dan sama sekali nggak bersemangat dalam menjalani hidup #lebay. 

Ada satu dari banyak kekuranganku, yang dalam kasusku bisa jadi merupakan dampak dari akselerasi. Menurut artikel ilmiah yang kubaca :


"Siswa (akselerasi) memperoleh percepatan dalam perkembangan intelektual (ranah kognitif), tapi tidak memperoleh percepatan dalam perkembangan ranah afektif dan psikomotorik". 
Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Asmadi Alsa, Guru Besar Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

Kalimat diatas sedikit banyak memang benar dalam kasusku terutama mengenai ranah afektif. Menurut orang-orang aku cenderung masih bersikap kekanakan dan terkadang tidak peka terhadap orang lain (terutama dalam hal menganalisa maksud dari sikap orang lain terhadapku). Mereka masih memanggilku dengan sebutan "bocah" dan tubuhku masih saja pendek #ganyambung. Tapi aku ragu apakah kalimat tersebut dapat digunakan untuk menggeneralisir dampak dari akselerasi atau tidak, karena tidak seluruh anak akselerasi yang kukenal bersikap demikian.

Intinya jika aku diminta jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan kondisiku (dan mungkin juga sering ditanyakan pada mereka anak-anak aksel), aku akan menjawab bahwa :

"Akselerasi bukan berarti mengorbankan masa remaja, akselerasi adalah kesempatan berharga dan sarana bagi beberapa orang untuk menyalurkan energinya dalam hal positif. Kami tidak merasa terbebani dalam menjalaninya karena kami tidak merasa terpaksa. Kami punya banyaaaaaak kegiatan lain selain belajar, kami punya banyak teman dan kami hidup dengan bahagia " #mutergayabalerina.

dan jika ditanya
"apa yang dirimu kejar?"
aku hanya bisa jawab "nggak tau, yang jelas bukan 'gelar' yang kukejar (jaman sekarang gelarmah bisa dibeli asal punya uang #miris)....hanya saja yang kutau, aku bahagia dan bersyukur menjalaninya. Dan kalau misalkan aku nggak aksel nih ya, belum tentu kaaaan aku bisa ketemu dan kenal sama kamyuuuuh ufufufu "



bosen ah lari sendiri, sekarang maunya lari berdua :'> #nahloh
(sumber gambar : academicdepartments.musc.edu)




*MTs ku memberikan penghargaan pada muridnya dengan berbagai kategori, seperti best student kategori natural, best student kategori musik, kategori terkritis dsb dsb. Di sini, bakat kami di hargai, bukan hanya dari sisi akademik semata, asik ya

**waktu MTs dulu ada banyak kegiatan outdoor seperti tadabbur alam dan kemah alam, outbond dan semacam pramuka tiap hari jumat, kami punya kelompok taklif dan masing-masing kelompok punya kebun sendiri yang harus ditanami dan dirawat. Pokoknya aku bahagiaaaa sekali sekolah di MTs Asih Putera .

9 komentar:

  1. wah tulisan bagus, sama dengan sekolahku banyak kategori penghargaan. Pas SMA saya dapat Best Sutradara.haha. Anyway, saya suka bahasa tulisanmu, ajarin lah! tapi kok terlalu banyak 'hihihihi', maklum lah yaa masih bocah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, best sutradara (O,O)d cool.. tapi nggak kebayang, pasti melodrama ya, hihi :D
      memang bahasa tulisanku kayak apa Fiq? dirimu update tulisan juga dong :D
      cuma dua kok hihi nya :O

      Hapus
  2. Bukaan, sutradara itu cuma bahasa konotatif, ada maknanya. Ya bahasamu bagus, bahasa anak-anak :D Saya lagi kurang mood nulis di blog kak, mau nulis yg lain dulu. haha.

    Ohya bagaimana pendapatmu tentang akselerasi? Banyak pihak (termasuk para pengamat pendidikan) yg menganggap bahwa program akselerasi merupakan suatu bentuk diskriminasi. Di undang-undang sudah jelas disebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Saat ini yang terjadi justru sekolah membedakan mana yang unggul dan mana yang tidak. Kadang saya menilai program ini justru akan memberikan suatu pertanda adanya disintegrasi bangsa karena seolah-olah dunia pendidikan sudah mengajarkan pengotak-ngotakan secara sistematis. Pola seperti ini dikhawatirkan akan tertanam pada anak-anak akselerasi, sehingga mengakibatkan mereka merasa superior dibandingkan dengan orang lain. Kalau di Jawa ada istilah Tut Wuri Handayani, bisa diartikan bahwa tugas guru adalah mendampingi para siswa secara bersama-sama (baik yg unggul maupun tidak). Ada pun dengan belajar bersama tanpa akselerasi, seluruh siswa akan termotivasi, sehingga terbentuk 'persaingan' yang sehat. Di sisi lain, keragaman dalam komunitas ini juga akan mendorong siswa untuk belajar memahami orang lain, melatih kepekaan sosial, dan berujung pada keinginan menjaga kesatuan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahasa anak-anaaaak -_-

      Iya, memang banyak yang beranggapan akselerasi adalah bentuk diskriminasi, sama dengan program-program semacam kelas unggulan dan SBI/RSBI.
      Yang dirimu maksud dengan "pendidikan yang sama" itu seperti apa Fiq?

      Kalau menurut Pasal 9 Undang – undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
      (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
      (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

      Aku pernah coba ngajar beberapa anak sekaligus, mereka berada di kelas yang sama dan belajar materi yang sama. Masing-masing anak memang memiliki kecepatan yang berbeda dalam menerima materi pelajaran. Sebagai yang mengajar, ada rasa dilema ketika aku harus mengulang materi yang sama agar anak-anak yang tidak terlalu cepat paham bisa mengerti apa yang kujelaskan.
      Dilema karena dengan sikapku itu, mereka yang terlalu cepat paham jadi merasa bosan dan merasa tidak diperhatikan. Akhirnya mereka mencari kegiatan lain dengan coret2 buku atau mengganggu temannya yang lain.
      Kalau pada kasusku, aku tumbuh menjadi anak yang nakal, susah di atur, malas dan keras kepala. Guru-guruku di SD men-cap ku demikian, sebelum akhirnya aku secara tidak langsung 'diselamatkan' melalui program akselerasi ini.

      Jadi "pendidikan yang sama" dalam pikiranku adalah pendidikan yang adil yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Bukan berarti disamaratakan, karena setiap anak itu unik, memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda.

      Memang masih banyak kekurangan dari akselerasi, termasuk yang kutulis di atas. Pada beberapa kasus ranah afektif anak tidak serta-merta mengalami akselerasi sehingga mereka cenderung immature dan nggak peka. Tapi akupun nggak bisa menggeneralisir karena nggak semua anak akselerasi yang kukenal bersikap demikian. Dan untuk sampai pada program akselerasi ini, setiap anak melalui rangkaian psikotes yang panjang, yang tentunya dapat menjadi bahan pertimbangan "akan jadi seperti apa anak ini kedepannya".

      Pendapatku, program akselerasi bisa dilaksanakan, namun tidak bisa berdiri sendiri. Akselerasi bukan semata-mata urusan akademik, perlu juga ditanamkan nilai-nilai moral dan agama. Supaya nantinya anak-anak jebolan akselerasi ini tidak merasa superior, mampu berbaur dan bisa membantu yang lain. Untuk menanamkan nilai-nilai ini peran guru (dan mentor) sangat menentukan, terlebih peran orangtua di rumah :)

      Hapus
  3. Wah jawaban yang sangat bagus dan bisa diterima. Peraturan perundangan yang saya pakai adalah UU RI Nomor 20 tahun 2003 Pasal 5 ayat 1 yang menjelaskan bahwa tiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Saya menangkapnya agak berbeda mengenai pasal 5 ini. Memang benar sekali dengan apa yang kak Nisa tuliskan di UU perlindungan anak tersebut, bahwa anak-anak yang memiliki 'potensi khusus' memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan khusus. Begitu juga dengan yang memiliki 'kelebihan' semacam memiliki cacat atau sejenisnya yang berhak mendapatkan pendidikan luar biasa. Untuk anak yang (maaf) cacat jelas memang harus mendapatkan pendidikan khusus dalam artian teknik pengajaran dan fasilitasnya yang harus dikhususkan. Artinya tingkat kebutuhan anak yang cacat memang jelas-jelas dapat dibedakan kebutuhannya. Sedangkan menurut pandangan saya, pengukuran terhadap tingkat inteligensia maupun kekuatan psikologis manusia yang diukur oleh beberapa lembaga yang berbeda akan menghasilkan suatu data yang berbeda. Misalnya si A dites psikologisnya di lembaga SATU berbeda hasilnya dengan jika si A dites psikologisnya di lembaga DUA, walaupun sudah ada standar psikologis yang baku. Di sisi lain, keberhasilan atau tingginya tingkat inteligensia merupakan fungsi waktu yang dapat naik atau turun. Intinya, kadang pengukuran terhadap tingkat kemampuan inteligensia atau psikologis tidak dijadikan patokan siswa ini unggul atau tidak, yang sebagian besar digunakan sebagai acuan untuk masuknya seorang anak ke dalam kelas akselerasi.

    Salah satu hak yang menurut saya penting juga untuk diperhatikan (walaupun tidak tertulis di UU), adalah seorang anak berhak untuk bermain, belajar, dan bersosialisasi dengan anak yang sepantar/seumuran. Hal ini karena menurut saya mereka akan merasa nyaman dan dapat mengekspresikan dengan tanpa canggung apa yang memang seharusnya mereka ekspresikan. Mengenai ada anak cerdas yang mudah memahami materi kemudian gurunya memberikan perhatian yang lebih kepada si anak yang kurang cerdas, kemudian si anak cerdas merasa tidak diperhatikan dan merasa bosan, menurut saya bisa diakali oleh si guru. Itulah fungsi seorang guru untuk tidak cuma menjadi pengajar, tetapi juga pendidik. Mereka tentu seharusnya bisa mendidik anak didiknya agar bisa bersikap sabar dan menghargai anak lain. Jika saya menjadi guru (pada saat ada anak cerdas yag merasa bosan tersebut), saya akan meminta anak cerdas tersebut untuk mengajari anak yang kurang cerdas, dan akan saya bimbing dan perhatikan. Di sini, ada bentuk simbiosis mutualisme. Si anak kurang cerdas akan mendapatkan ilmu dari si anak cerdas, sedangkan si anak cerdas akan mendapatkan ilmu tentang moral yang baik, meliputi kesabaran mengajari teman, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan afektif yang lainnya. Si guru juga mendapat keuntungan karena dia bisa melihat anak-anak didiknya bisa bersikap cerdas, baik dalam memahami materi maupun dalam bertoleransi kepada teman-temannya. Itulah mengapa, saya menganggap seharusnya tidak perlu ada kelas akselerasi.

    BalasHapus
  4. Ohya, definisi pendidikan yang sama yang ada di pikiran saya adalah pemberian materi-materi dasar yang diberikan sama, sedangkan materi-materi tambahan (yang dianggap bukan materi dasar) diberikan sesuatu dengan bakat dan minatnya masing-masing. Contoh materi dasar yang saya maksud antara lain materi-materi pendidikan agama, moral, pengetahuan umum (ipa, bahasa, ips, menggambar, membaca, menulis, dan sejenisnya). Sedangkan materi-materi tidak dasar yang diberikan sesuai minat dan bakat antara lain seperti materi-materi yang kita dapatkan dalam kegiatan ekstrakurikuler, pelatihan olimpiade, dan sebagainya. Materi, durasi, dan kecepatan pemberian materi dasar menurut saya harus sama, yang berbeda hanya tekniknya. Tentu teknik pengajaran kepada anak biasa dengan anak luar biasa (baca: yang memiliki cacat) jelas berbeda, tetapi materi dasar yang diberikan harus sama. Program akselerasi menurut saya adalah pembedaan dalam hal durasi dan kecepatan pemberian materi yang berbeda. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hwah (O,O) #nyumputdibalikmeja
      gini nih kalau berargumen sama "tukang debat" #hiks

      "Di sisi lain, keberhasilan atau tingginya tingkat inteligensia merupakan fungsi waktu yang dapat naik atau turun. Intinya, kadang pengukuran terhadap tingkat kemampuan inteligensia atau psikologis tidak dijadikan patokan siswa ini unggul atau tidak, yang sebagian besar digunakan sebagai acuan untuk masuknya seorang anak ke dalam kelas akselerasi".

      Isi psikotes untuk masuk akselerasi nggak hanya mengenai tingkat intelegensia loh Fiq, waktu itu kurang lebih makan sekitar 5 hari termasuk wawancara dengan siswa maupun dengan orangtua siswa. Aku sendiri kurang paham keseluruhan aspek apa aja yang dinilai, tapi waktu itu psikolognya kasih salah satu contoh: seorang yang intelegensianya sangat tinggi bisa gagal masuk karena tingkat kreativitasnya rendah, karena outputnya memang bukan sekedar "robot-robot" yang pandai dari sisi akademik aja.

      kalau misalkan dirimu dihadapkan sama murid yang tingkat kemampuannya melebihi yang lain, atau kalau misalnya dirimu dianugrahi anak yang kemampuannya melebihi yang lain, kemudian ada program yang bisa memfasilitasi kemampuannya, apakah dirimu akan tetap 'menahannya' dengan memberikan muatan materi dasar yang sama, durasi yang sama, yang dibuat berdasarkan kondisi kebanyakan orang?
      nggak kasian Fiq?

      Hapus
  5. Betul sekali bahwa tes psikologi tidak hanya mengukur kemampuan inteligensia anak, tetapi juga karakter-karakter yang dimilikinya. Pada saat pelaksanaan tes tersebut kondisi masing-masing anak tentu berbeda. Ada yang sedang punya masalah, ada yang sedang semangat2nya belajar, ada yang lagi tidakmood berbicara dengan orang, dan sebagainya. Begitu pun dengan orangtua yang mungkin diwawancarai juga oleh psikolog, kondisinya jelas berbeda. Begitupun dengan pengetahuan orangtua tentang pendidikan. Ada yang sangat paham, ada juga yang tidak paham apa2.

    Wah kak Nisa ngasih kasus ke saya ya, haha.
    Oke, kalau saya punya anak yang memiliki kemampuan melebihi kemampuan anak-anak lain? Maksudnya kemampuan kecedasan/inteligensia, keaktifan, kesiapan psikologis, dan sebagainya itu ya?

    Oke, yang pertama say tidak akan menilai anak saya 'lebih' daripada yang lain, saya hanya akan menyimpulkan bahwa anak saya tsb cenderung berbeda dengan teman-temannya. Yang saya ajarkan adalah, saya akan menekankan agar dia tidak merasa 'lebih' atau bahkan merasa superior dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Kedua, saya tidak akan mengizinkan anak saya untuk mengikuti program akselerasi. Saya akan mendidiknya dalam kondisi yang normal saja dalam hal materi-materi dasar dengan durasi dan kecepatan yang sama dengan teman-teman yang seumuran dengan dia. Saya tidak akan membiarkan anak saya 'kehilangan waktu' untuk tidak hanya mendalami materi-materi dasar, tetapi juga meningkatkan kualitas afektifnya. Jika memang dia berbeda dengan anak-anak lain (dalam artian berbeda yang baik), saya akan memfasilitasinya dan membimbingnya dengan peningkatan kualitas afektifnya, seperti menghafal Al Quran, berkegiatan sosial, dan sebagainya. Saya yakin, anak akselerasi juga bisa diberikan hal-hal afektif, tapi akan lebih sedikit porsinya jika dibandingkan dengan 'anak-anak normal'. Saya juga yakin anak aksel bahagia dengan apa yang dijalaninya, tapi saya yakin dia akan lebih bahagia dengan kehidupan yang berbeda. Ketiga, saya tidak akan merenggut hak anak saya tersebut untuk memiliki porsi waktu yang banyak untuk bermain, belajar, dan melakukan kegiatan positif yang lain bersama-sama dengan teman-teman seumurannya. Simpulannya, justru saya akan merasa kasian dengan anak saya yang memiliki durasi dan kecepatan belajar yang berbeda dengan teman-temannya tersebut (baca: aksel). Itulah mengapa tingkat happines anak-anak peserta pendidikan tingkat dasar di US dan Malaysia cukup tinggi (dari cerita teman saya), karena di sana tidak diberikan 'beban' materi dasar yang seolah-olah dibuat dengan durasi dan kecepatan yang berlebihan.

    Eh saya gak menyalahkan atau mendikte kak Nisa yang sudah ambil aksel lho, haha (jangan nangis). Saya hanya berpendapat berdasarkan porsi pola pikir dan pengetahuan yang saya miliki (walaupun sedikit sedikit).

    BalasHapus