Daun-daun coklat berguguran dari sebatang pohon apel diatas
bukit. Kini hanya tersisa satu saja. Hembusan angin yang ringan mungkin akan
segera membawanya pergi.
Pohon itu mati. Menyisakan bayangan hitam besar yang menutupi
sebagian sisi bukit. Suatu hari ia juga akan menghilang, perlahan-lahan terdenaturasi
oleh alam. Tak tahu kapan.
Pohon apel itu menyerah, menyerah setelah tujuh tahun
lamanya ia bernyanyi, untuk petani kecil yang tinggal di kaki bukit. Ah tapi petani
itu terlalu sibuk bercocok tanam di kaki bukit. Lagipula nyanyian pohon apel
begitu pelan. Tak selalu bisa petani dengar.
Ia tidak mempedulikannya ketika pohon apel kecil mulai
tumbuh di puncak bukit. Tak pernah. Sampai ukurannya cukup besar untuk
menerbangkan dedaunan hingga ke atap rumahnya. Sampai akhirnya pohon itu
berhenti bernyanyi. Sampai ia mati.
Petani itu kemudian berjalan ke sana, dan meletakkan
sebatang bungan Daisy di bawah pohon apel mati.
Petani itu tidak merasa kehilangan. Sungguh tidak. Ia hanya
merasa sedikit kasihan. Pohon apel yang malang..
Semenjak itu pohon-pohon lain bergantian tumbuh di atas
bukit, pohon kayu putih, kenari.. setahun, tiga tahun.. sampai akhirnya mereka
juga mati.
Petani masih tak peduli. Ia masih sibuk bercocok tanam di
kaki bukit.
Hingga kemarau panjang tiba. Panjaaaang sekali.
Bukit yang hijau menjadi kering. Tak ada lagi air untuk mengairi
ladanganya. Tak ada satupun tunas tanaman di ladang yang tumbuh, semuanya mati. Persediaan makanan semakin menipis, dan petani jatuh sakit.
Hingga pada suatu hari datang seorang pemuda mengetuk pintu
rumahnya yang kecil. Petani mengizinkannya masuk. Tanpa berkenalan si pemuda
langsung berkata…
“ini semua kesalahanmu, kau sakit karena salahmu sendiri”
Petani hanya mengerenyit
“siapa dirimu? Dan apa maksudmu? Kemarau itu bukan aku yang
buat!”
“memang bukan, tapi jika saja kau bisa lebih peka, jika saja
bisa.. bukit ini dan seluruh daerah disekitarnya akan tetap hijau meskipun
kemarau panjang tiba”.
“aku masih tak mengerti, dimana letak kesalahanku??”
“pohon-pohon itu, yang bergantian tumbuh diatas bukit..
mengapa kau tak pernah menghiraukan mereka?”
Bayangan petani berlari pada pohon apel yang mati. Kini batang
mati pohon itu sudah tak bersisa dimakan waktu dan kemarau panjang.
“aku.. tak bisa!”
“alasan.. padahal nyanyian mereka yang ditujukan untukmu
itu, berisi pesan untuk hujan. Akar mereka menancap kuat kedalam tanah, ranting
mereka dekat dengan langit. Mereka menyanyi hingga mendatangkan hujan untukmu..
tapi tidak pernah kau dengarkan.. bahkan tidak sekalipun kau sapa mereka..”
Lalu pemuda itu pergi begitu saja.
Dengan sisa kekuatan, petani kecil berjalan.. berjalan terus
ke puncak bukit. Sambil menangis…
Lalu ia menggali, dan menggali.. dari saku bajunya yang
lusuh ia keluarkan sebuah biji. Biji jeruk.
“hanya ini yang kupunya.. maukah kau tumbuh menggantikan
mereka.. ”.
Petani kecil kemudian menanamnya, dan menyiramnya dengan air
mata. Setiap hari ia pergi untuk berdoa didekatnya. Berharap tunas itu akan
muncul diatas bukit yang semakin coklat.
17 bulan berlalu.. kemarau panjang belum juga berhenti. Sudah
seminggu petani tak memiliki kekuatan lagi untuk pergi keluar rumah dan
menengok ke atas bukit seperti biasa.
Ia hanya memandangi bukit dari jendela kamarnya…
“akankah tumbuh, akankah tumbuh, ya Tuhan..” petani kecil
menangis lagi.
Diatas bukit, muncul siluet kecil.. apakah tunas itu tumbuh?
Petani tak tahu..
Ia hanya berharap ada yang datang, membawakan sedikit air
dan makanan. Membawakan kabar gembira bahwa masih ada harapan.
Tapi sayang.. matanya kabur. Dan semuanya menjadi gelap.
(image source : t3.gstatic.com)
Dahulu kala, ada seorang anak perempuan yang bernama Zerozeroo. Dia saaangat menyukai bintang. Bintang Seventeens, dua bintang kembar yang sejatinya satu.. [Sevent(w)eens, Gadis bintang, dan Al-Quran]
BalasHapus