"Mereka manusia biasa, laki-laki biasa, perempuan biasa
Namun mereka begitu spesial
Karena mereka AyahBundaku :')"
Berbicara dengan mereka selalu mengantarkan otak cupu ini
pada kata tanya “Why” bukan sekedar “What”
Dan hari ini, sekali lagi mereka mempertegas visualisasinya
untuk masa depanku..
Baru kusadari ternyata Ayah orang yang cuek, sebagai anak
pertama aku dibiarkan memilih sendiri, belajar sendiri. Bunda juga begitu,
seingatku untuk hal yang sifatnya akademis Bunda hanya pernah mengajarkanku
menggunting dengan rapih sementara Ayah mengajarkanku memasang rangkaian lampu
seri dan pararel, selebihnya aku dibiarkan belajar sendiri.
Hobi mereka adalah mengarahkan dan terkadang arahan itu
kusalah artikan sebagai perintah (sampai aku merasa menjadi anak terpingit
sedunia). Ternyata aku salah…
“ini hidupmu, yang akan menjalankan ya dirimu sendiri.
Selagi kami masih sanggup membiayai dan memfasilitasi kalian, sekolahlah yang
tinggi. Sebagai orang tua, kami nggak meminta apapun. Ayah dan Bunda akan merasa
sangat bersyukur jika kalian jadi orang yang berhasil. Itu aja, nggak lebih”.
Hanya memberi...
Tak harap kembali..
Bagai sang surya
menyinari dunia…
Dari kata-kata Ayah itu bisa kutarik beberapa kesimpulan
:
Pertama, apa yang kujalani sekarang adalah pilihanku.
Artinya mau tak mau, suka tak suka aku harus menjalankannya dengan sepenuh
hati. Berusaha semaksimal mungkin, berdoa semaksimal mungkin. Karena
konsekuensinya aku sendiri yang merasakan. Bukan Ayah yang dapet nilai C kalau
aku dapet C, bukan Bunda yang dapet nilai A kalau aku dapet A… (haha maaf ya
Ayah :p)
Tapi aku. Hanya aku.. Jadi, aku harus berusaha untuk aku,
untuk kebaikanku sendiri.
Kedua, orang tua manapun sepertinya sama. Materi yang
mereka perjuangkan dengan fisik dan pemikiran adalah untuk memenuhi kebutuhan
anak-anaknya. Penerus mereka. Investasi akhirat, karena mereka tak memerlukan
balasan dunia seperti apa yang Ayah katakan. Mereka sudah merasa sangat
bersyukur dan bahagia ketika melihat anak-anak mereka menjadi orang yang lebih berhasil
dibandingkan mereka… dalam segala hal.
Lalu, apakah aku bisa begitu teganya menyia-nyiakan usaha
mereka dengan main-main selama kuliah?
Jadi, ketika berusaha untuk diri sendiri itu merupakan
hal yang tidak mungkin, maka berusahalah untuk mereka. Mungkin begitu…
Tapi apakah itu alasan yang terbaik?
Atau jangan-jangan alasan “demi orangtua” merupakan
sebuah bentuk pelarian?
Apakah itu yang benar-benar orangtua harapkan?
Terimakasih AyahBunda, kalian menyadarkanku… meski bagaimanapun, semangat itu harusnya datang dari diriku sendiri.
Aku harus berjuang untuk kesuksesanku sendiri. Jika aku sukses, harapan orangtuaku juga terpenuhi. Itu saja. Konsekuensi dari konsekuensi.
Untuk Ayah dan Bunda
tercinta,
semoga anakmu bisa
menjadi anak yang shaleh, investasi tak terputus hingga akhirat nanti
Salam cinta,
Anak pertamamu yang
cupu :’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar