"Anak Muda...
Menikahlah Sebelum Mapan, Agar Anak anak anda dibesarkan bersama kesulitan - kesulitan anda.
Agar Anak anak anda kenyang merasakan betapa ajaibnya kekuasaan AllahJangan sampai anda meninggalkan anak anak yang takpaham bahwa hidup adalah perjuangan".
-Adriano Rusfi-
Ayah dan Bunda termasuk pasangan yang menikah dengan
bekal secukupnya. Dengan uang yang mulanya akan digunakan untuk acara
pernikahan, tapi tidak jadi karena ternyata di akad nikah sudah banyak sekali
tamu yang hadir, Ayah dan Bunda membeli sebuah rumah dengan harga Rp 3.000.000
(kalau sekarang nilai uangnya mungkin sekitar Rp 30.000.000).
Rumah pertama keluarga kami yang sederhana, letaknya di Gang
Dahlia No.57, belakang RS. Dustira Cimahi.
Benda yang pertama kali Ayah dan Bunda beli adalah sebuah
karpet merah tipis dan sebuah kasur busa yang mereka gunakan berdua, karena memang baru itu yang bisa mereka beli. Saat itu
penghasilan Bunda sebagai seorang karyawan kantor di sebuah pabrik tekstil masih
lebih tinggi dibanding Ayah yang calon dosen. Bundaku memang sudah lama bekerja sejak lulus SMK karena harus membantu Mbah dan Nenek membiayai kuliah adik-adiknya.
Untuk mencukupi kebutuhan
rumah tangga, selain mengajar Ayah membuka toko alat elektronik di Pasar Cimindi. Ayahku memang seorang pekerja keras, beliau tak terbiasa duduk-duduk santai di waktu luangnya. Kemampuan Ayah berdagang didapatnya sejak masih kecil dengan berjualan es lilin dan membantu Nenek berjualan ikan di pasar.
Dengan kondisi seperti itu, dari pagi hingga sore mereka berdua tak pernah ada di rumah, hingga aku
terpaksa dititipkan di rumah Nenek (dari Bunda). Biasanya setiapkali Bunda berangkat di pagi hari aku
menangis dan mengejarnya menyusuri gang sampai jalan raya, aku baru berhenti
menangis kalau Nenek atau Bule yang menyusulku dari belakang menasehatiku bahwa
Bunda dan Ayah melakukan semuanya untuk bisa membelikanku susu :) . Mungkin karena orangtuaku
sibuk, di usia 3 tahun aku sudah dimasukkan ke TK.
Di tahun 1997, saat usiaku 4 tahun, Ayah dan Bunda mulai
merintis usaha baru berupa toko bahan bangunan. Saat itu bangunan toko masih kecil,
sangat sederhana dan semipermanen, sebagian dibuat dari papan dan triplek.
Barang yang dijualpun belum begitu banyak jumlahnya.
Krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 justru menjadi
titik balik finansial keluargaku. Krisis ekonomi saat itu mungkin menjatuhkan
bagi mereka yang memiliki aset berbentuk saham, reksa dana,
obiligasi dan aset liquid lainnya, tapi menguntungkan bagi mereka yang
mempunyai real asset dalam bentuk barang dan tidak memiliki hutang, seperti
Ayah dan Bunda. Keuntungan yang didapatkan dari berjualan cukup untuk membangun
toko sekaligus rumah baru bagi keluarga kami. Semenjak itu usaha Ayah terus
berkembang hingga kini.
Setiap keluarga punya “kisah finansial”nya masing-masing,
ada yang memang sudah mapan dari sebelum perjanjian agung diucapkan, entah
karena faktor kerja keras calon mempelai pria atau warisan turun-menurun, ada pula yang berbekal
secukupnya lalu merintis bersama-sama dan mapan bersama-sama.
Kalau aku, aku memimpikan yang kedua.
Karena ada sarana pembelajaran yang luarbiasa di sana,
sarana untuk saling mengenal karakter satu sama lain, sarana untuk saling
membangun satu sama lain dan sarana untuk berjuang bersama-sama. Aku percaya keberuntungan dan keajaiban Allah akan lebih dekat pada mereka yang mau berjuang dan bekerja keras termasuk dalam menjalani hidup.
Mungkin mudah mendapatkan orang yang mau di ajak senang
tapi tak mudah mendapatkan orang yang bisa di ajak susah. Padahal kata Ayah,
kehidupan itu tak selalu di atas, kita tak pernah tahu kapan Allah akan
mengambil kembali apa yang pernah Ia titipkan. Alangkah indahnya ketika kita
punya pasangan yang siap akan hal itu bukan? :)
Bagaimana denganmu? :)
Salah satu yang dari dulu sampe sekarang belum kesampaian adalah main ke rumah nisa, ketemu ayah sama bunda nisa, dan belajar dari keluarga nisa :"))
BalasHapus