Anak perempuan itu sengaja kutahan di kelas saat bel
pulang telah berdentang setengah jam lalu
Ini sudah kesekian kalinya ia kubujuk untuk menulis,
menulis dalam artian “sekedar mengikuti” bentuk huruf di papan tulis, karena ia
memang belum bisa membaca, atau mengeja.
Semester lalu aku hampir memutuskan untuk membuatnya
tinggal kelas setelah bermusyawarah dengan Ibunya, yang saat kutemui sedang
asyik membuat sapu lidi di halaman rumahnya.
Namun setelah meminta pertimbangan rekan-rekan
seperjuangan, keputusan itu kuurungkan, mengingat tingkat kehadirannya di kelas
yang terbilang tinggi.
Berat untuk orang yang idealis macam diriku, tapi apa mau
dikata. Idealisme, ekspektasi, harus kuenyahkan.
Disaat sekolah-sekolah di perkotaan sibuk dengan
bagaimana-cara-mengimplementasikan-Kurikulum-2013-nya, di sini membuat
anak-anak (dan guru) mau datang ke sekolah adalah prioritas utama,
Tak peduli apapun kurikulumnya, tak peduli apapun buku
paket yang digunakannya (yang mana sebagian terbit di tahun yang sama saat aku
masih siswa SD).
Anak itu masih belum mau menulis, hanya memandangiku
sambil sesekali tersenyum, aku balas memandangnya, tak terasa air mataku
mengalir.
“Akang sampe kapan ngoni begini teros? Akang bagaimana
kalo ngoni so besar nanti?”
Mungkin kejauhan, tapi saat aku memandang wajah
kanak-kanaknya, aku melihat gambaran sebuah generasi, satu contoh diantara
sekian banyak yang ada, entah itu di belahan Timur Indonesia, di Garut yang
sepelemparan batu dari Ibukota, atau bahkan di tubuh Ibukota sendiri, bagai
rambut alis yang tak tampak oleh mata.
Tanpa sadar aku lepas kontrol dan menangis terisak-isak.
Bukan, bukan menangisi ketidakmampuannya membaca,
Aku menangisi orangtuanya yang masih belum paham betul
pentingnya bisa baca-tulis-hitung,
Aku menangisi guru-gurunya “guru sesungguhnya” yang malas
datang ke sekolah,
Aku menangisi anak-anakku yang terjebak zona nyaman dalam
pelukan tanahnya yang gemah ripah loh
jinawi,
Aku juga menangisi diriku yang gagal sebagai seorang pemimpin
di kelas.
Dua ratus sepuluh hari dan terus kuhitung,
Saat terakhir kali aku memandang wajahnya. Wajah yang memberikan
banyak makna dan pelajaran, tentang hidup, tentang rasa syukur, tentang
beratnya tugas para pemimpin, yang membuat para calon khalifah enggan bertakhta,
yang membuat seorang Habibie sulit tidur.
Wajah kanak-kanakmu, yang masih berjuang dengan huruf,
sementara yang lain sudah berpusing memikirkan MEA.
Sampai berjumpa nanti Anak-anakku, saat Ibu punya
keberanian untuk kembali menyapa kalian.
Terimakasih telah berbaik sangka, do’a Ibu selalu saat
mengingat kalian :)