"Bisnis metabolit sekunder adalah bisnis yang sexy, pricenya bahkan bisa lebih tinggi dari a bulk of diamond" -dosen rekayasa metaboli tumbuhan-
Hingga saat ini manusia masih bergantung pada metabolit sekunder yang di diproduksi oleh tumbuhan untuk bahan aktif dari berbagai jenis obat-obatan. Hal tersebut dilakukan karena beberapa senyawa metabolit memiliki jalur sintesis serta bentuk yang kompleks sehingga sulit dibuat molekul sintetiknya oleh manusia. Termasuk diantaranya senyawa metabolit sekunder (terpenoid indol alkaloid) vinblastine dan vincristine yang diproduksi oleh Catharanthus roseus, topik penelitianku kini.
Kedua senyawa ini masih umum digunakan sebagai bahan aktif obat kemoterapi kanker untuk menghambat aktifitas mitotik sel (dijual dengan merk dagang Velban dan Oncovin). Harga kedua senyawa yang fantastis menjadi salah satu penyebab tak tertolongnya penderita kanker karena tak mampu membelinya.
Hingga saat ini Vinblastine sulfat 96% masih dihargai sebesar ±66.9 SGD/mg sementara vincristine sulfat 96-105% dihargai sebesar ±203.5 SGD/mg (katalog SIGMA 2013)
Harga tersebut belum termasuk pajak dan biaya pengiriman.. hingga pada akhirnya menjadi >2 kali lipat harga katalog ketika masuk ke Indonesia (yang ini curcol, hehe).
Harganya yang sangat mahal memang masuk akal...
Karena fungsi dari metabolit sekunder adalah untuk plant survival dan dapat bersifat autotoksik, secara alami tumbuhan hanya memproduksi senyawa metabolit sekunder dalam jumlah yang saaaaangat sedikit.
Jadi... jika kita ingin mendapatkan metabolit sekunder untuk skala industri, kita memerlukan biomassa tanaman yang banyak, proses ekstraksi yang sulit serta memakan biaya tinggi. Akibatnya harga senyawa metabolit sekunder yang kita hasilkan menjadi sangat mahal.
Misalkan, tanaman Catharantus roseus berusia 6 bulan hanya menghasilkan vinblastine dan vincristine masing-masing sebanyak 0.0003% dari berat kering daun (mature leaf) . Maka untuk mendapatkan 1 kg vinblastine atau vincristine kita memerlukan ±333 ton daun kering. Daun kering lhoo, sangat banyak bukan?
Alternatif lain yang bisa manusia lakukan adalah membuat senyawa semi sintetik metabolit sekunder dengan mengolah prekursornya (bahan baku) menjadi senyawa yang diharapkan. Senyawa prekursor memiliki bentuk yang lebih sederhana, dapat disintetis atau diekstrak dari tumbuhan ketika jumlahnya lebih tinggi dibanding senyawa akhir yang diharapkan.
Dalam hal ini, harga prekursor harus lebih murah dibanding senyawa yang diinginkan. Misalkan, produsen membuat vinblastin (±66.9 SGD/mg) dari senyawa prekursor vindolin (±15.6 SGD/mg) dan catharanthin (±7.5 SGD/mg).
Dalam hal ini, harga prekursor harus lebih murah dibanding senyawa yang diinginkan. Misalkan, produsen membuat vinblastin (±66.9 SGD/mg) dari senyawa prekursor vindolin (±15.6 SGD/mg) dan catharanthin (±7.5 SGD/mg).
skema dimerisasi vindoline dan catharanthine untuk memproduksi vinblastine (O'Connor dan Maresh, 2006) |
Namun, pembuatan senyawa semi sintetik juga masih belum efisien karena sangat bergantung pada availabilitas senyawa prekursor. Karena keterbatasan tersebut, dalam 25 tahun ke belakang, para peneliti mencoba menyerahkan kembali mekanisme produksi pada sistem hidup.. mengembalikannya lagi pada tanaman itu sendiri sebagai "pabrik"nya, dengan kultur jaringan dan rekayasa bioproses. Sehingga dapat dihasilkan senyawa vinblastine dan vincristine dengan konsentrasi tinggi dalam biomassa yang lebih sedikit.
kulturku <3 |
Bagiku ini adalah bahan perenungan, secanggih apapun sistem yang dibuat manusia, bahkan tidak akan pernah bisa menyamai sistem yang dibuat Allah.
Makhluk hidup adalah sistem yang sangat efisien dan luar biasa. Contohnya tanaman kecil Catharanthus roseus tadi itu, melalui mekanisme biosintesis kompleks tanaman kecil itu mampu memproduksi >130 senyawa terpenoid indol alkaloid, yang untuk memproduksi SATU atau DUA diantaranya saja manusia dengan teknologinya masih belum sanggup. Jangankan untuk meniru, untuk mengetahui mekanisme biosintesis utuhnya saja hingga kini masih belum bisa manusia lakukan.
mekanisme biosintesis vinblastine dan vincristine (masih belum lengkap) (Zhou et al., 2010) |
Bisa direnungkan.. berapa lagi generasi peneliti yang dibutuhkan? butuh berapa tahun waktu yang dibutuhkan "hanya" untuk mempelajari satu bagian dari tanaman kecil, satuuuu saja makhluk ciptaanNya yang luarbiasa??
Betapa terbatasnya ya kemampuan yang kita miliki, dan betapa luarbiasanya Allah... :)
Vincristine |
"Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?" Qs Asy Syu'araa : 5
pustaka dalam teks ini :
O’Connor, S.E., Maresh, J.J. (2006). Chemistry and
Biology of Monoterpenoid Indole Alkaloid Biosynthesis, A Review. National Product Report 23. pp 532-547.
Shukla,
A.K., Shasany, A.K., Gupta, M.M., Khanuja, P.S. (2006). Transcriptome analysis
in Catharanthus roseus leaves and
roots comparative terpenoid indole alkaloid profiles. Journal of Experimental Botany Vol.57, No.14. pp.3921-3932.
Zhou,
M-L., Hou, H-L., Zhu, X-M., Shao, J-R., Wu, Y-M., Tang, Y-X. (2010). Molecular
regulation of terpenoid indole alkaloids pathway in the medicinal plant, Catharanthus roseus. Academic Journals.
pp.663-673.